Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Tersangka Karena Diskusi Data
Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. (Foto Repro YouTube Haris Azhar)

Tersangka Karena Diskusi Data



Berita Baru, Jakarta – “Ini sebuah kehormatan kalau negara hanya bisa memberi status tahanan dan penjarakan saya,” kata Haris Azhar, dalam konferensi pers virtual, Sabtu (19/3). Ia dan Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Kasus ini merupakan buntut dari video berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya” yang diunggah melalui akun Haris Azhar di YouTube. Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas temuan dari sejumlah organisasi seperti KontraS, Walhi, Jatam, YLBHI, Pusaka tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI AD di balik bisnis rencana eksploitasi pertambangan emas Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.

Fatia mendedahkan bahwa ada sejumlah perusahaan yang bermain tambang di kawasan tersebut. Salah satunya PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki Luhut. Merespon video itu, Luhut melayangkan somasi pertama pada 26 Agustus 2021.

“Hanya penjelasan dan permintaan maaf yang kami minta Kami rasa itu lebih dari fair,” kata juru bicara Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, kepada Tempo, Sabtu, 28 Agustus 2021. Somasi itu kemudian kembali dilayangkan pada 5 Agustus 2021 lalu.

Menyikapi dua somasi itu, Haris, melalui kuasa hukumnya, mengirim surat balasan. Sepucuk surat itu berisi, Haris mengundang Luhut untuk tampil di channel YouTubenya. “Undangan itu, merupakan ruang untuk berdiskusi kedua belah pihak,” kata Hendrayana, kuasa hukum Haris.

Ditetapkan Tersangka

Kini kasus tersebut membuat kaget banyak pihak. Pasalnya, penetapan tersangka terhadap dua aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu dinilai tidak tepat. Hal itu bagi Bivitri Susanti, dianggap sebagai bentuk pembungkaman aktivis yang kritis terhadap pemerintah.

“Saya kira memang ini bagian dari cara-cara penguasa yang sekarang untuk membungkam aktivis,” ujar Bivitri dalam jumpa pers Bunyikan Tanda Bahaya secara virtual, Sabtu (19/3/2022) seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Dalam melihat kasus ini, Bivitri menyebutkan istilah autocratic legalism. Konsep ini merupakan sebuah cara pandang yang melihat segalanya secara legalistik. “Seakan akan kalau sudah diakomodasi dengan teks peraturan atau dilakukan oleh orang orang berseragam, penegak hukum maka dia adalah benar,” lanjutnya.

Menurut Bivitri, cara-cara mengkriminalisasi tersebut lebih mengerikan daripada aksi kudeta dengan menggunakan tank dan militer. “Karena masyarakat luas, barang kali yang tidak kritis, paling tidak secara umum, bahwa apapun yang dilakukan oleh penguasa itu benar, karena atas nama hukum. Nah ini saya kira yang tengah digunakan secara efektif,” katanya.

Segendang sepenabuhan, Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan telah menduga pihak kepolisian bakal menetapkan tersangka. Isnur menilai penetapan tersangka itu sama seperti era Orde Baru. Seperti yang dilansir di Koran Tempo, dia mengatakan bahwa di masa lalu orang yang bersikap kritis dibungkam dengan pidana. “Kalau sekarang pakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” katanya.

Isnus menengarai kasus ini telah diatur. “Saya meyakini atau menduga kuat bahwa ada struktur yang bermain di situ.” Menurutnya pelaporan atas nama Luhut yang memiliki kuasa, pasti akan dilihat berbeda oleh aparat di level bawah. “Saya menduga seperti itu. Jadi sangat serius, dengan cepat dua minggu panggilan,” ujar Isnur dalam jumpa pers Bunyikan Tanda Bahaya secara virtual, Sabtu (19/3/2022).

Penetapan tersangka Haris-Fatia juga membuat Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mempertanyakan jaminan negara terhadap hak masyarakat atas kebebasan berekspresi. Menurutnya menekan aktivis dengan tindakan hukum hanya karena sebuah diskusi terkait seorang menteri jelas menggerus kebebasan berekspresi.

“Menetapkan mereka sebagai tersangka hanya karena mendiskusikan temuan dalam laporan tersebut merupakan bentuk tekanan terhadap ekspresi kritik warga, termasuk pembela hak asasi manusia. Justru penetapan itu malah memperlihatkan kurangnya keterbukaan negara dalam menanggapi kritik,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kepada Liputan6.com, Sabtu (19/3/2022).

beras