Warung Gethuk Mak Yah: Warung Gethuk Legendaris Bojonegoro
Berita Baru, Bojonegoro – Bagi Anda yang sedang berada di Bojonegoro, perlu mampir ke warung gethuk legendaris di Bojonegoro. Warung Gethuk Mak Yah, begitu warga mengenalnya.
Warung tersebut dirintis sejak tahun 1960-an oleh Rasiyah, atau biasa dipanggil Mak Yah. Warung ini berada di utara Kali Kethek, Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk.
Kini, warung gethuk legendaris dikelola oleh Sukaemi, anak Mak Yah bersama istrinya setelah Mak Yah berpulang pada tahun 2020 lalu.
“Jadi saya meneruskan jualan sejak Ibu sakit sampai sekarang, kurang lebih 2 tahun, dulunya cuma ikut bantu buat dan cuci-cuci pirning,” ungkap Jumiati.
Setiap hari, Jumiati yang dibantu 4 orang dalam pembuatan gethuk tersebut, memulai pembuatan gethuk dari pukul 06.00 WIB, dan pukul 03.00 WIB jika ada pesanan khusus.
Dalam sehari, ia mengolah 50 kilogram singkong untuk dijadikan gethuk, bahkan kadang bisa lebih jika di hari libur.
“Minimal dalam sehari habis 50 kilogram singkong kuning yang saya beli dari alas tuwo Tuban,” jelasnya, Kamis (16/6/2022) sebagaimana dikutip dari Bojonegorokab.go.id.
Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, menu yang ada di Warung Gethuk Mak Yah ini seperti halnya gethuk, ketan, kopi, teh hangat, dibandrol dengan harga yang murah meriah.
Setiap jenis kuliner serba Rp 2.500. Tak cuma gethuk, warung ini juga menyediakan menu makanan yang tak kalah nikmat, yakni kare ayam harga Rp 23.000.
Pembeli datang tidak hanya dari lokal Bojonegoro, melainkan pelanggan setianya dari luar kota. Dalam sehari, Mbak Jum, sapaan akrab Jumiati, menjelaskan biasa membuat gethuk dengan cara bertahap. Jadi gethuk akan selalu hangat dan nikmat disantap.
“Jadi kalau sudah mau habis yang buatan pertama kita mulai mengukus singkong untuk persiapan buat lagi, begitu seterusnya hingga persediaan singkong untuk hari ini habis,” kata Mbak Jum.
Saking banyaknya, ia tidak bisa menyebut pasti berapa porsi yang terjual setiap harinya. Gethuk yang dipotong kotak-kotak, disajikan dengan sambal deplok kedelai dan parutan kelapa itu selalu laris manis bahkan habis dalam waktu 5 jam saja.
“Biasanya jam satu siang sudah habis, kadang juga jam tiga sore, kalau jam buka kita jam tujuh antara jam delapan, karena jam enam pagi bagu mulai numbuk,” pungkasnya.