Webinar HISKI Jember: Melacak Jejak Feminisme Nusantara
Berita Baru, Jember – Feminisme Nusantara merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut konsep, pemikiran, dan praktik kesetaraan gender di Nusantara. Feminisme bukanlah konsep homogen yang dapat mewakili seluruh perempuan. Konsep feminisme Nusantara menyesuaikan konteks kenusantaraan, dengan menghargai budaya lokal dan menghormati perbedaan. Nilai feminisme Nusantara mencakup kesetaraan gender, penghargaan terhadap perbedaan, solidaritas antarperempuan, dan keberagaman. Jejak feminisme Nusantara dapat dilacak secara historis melalui peran para tokoh perempuan di Nusantara.
Demikian rangkuman webinar NGONTRAS#23, yang dilaksanakan atas kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (PBSI FKIP UNEJ), Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Sastra, Tradisi Lisan, dan Industri Kreatif (SASTRALIS-INKREA), dan Pusat Riset Metakultura (METAKULTURA), Sabtu (17/6/2023).
Pembicara yang menjadi narasumber adalah pakar feminisme Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum. (FBSB Universitas Negeri Yogyakarta) dan Dr. Furoidatul Husniah, S.S., M.Pd. (FKIP Universitas Jember). Webinar dipandu oleh moderator Siswanto, S.Pd., M.A., anggota HISKI Jember sekaligus dosen FKIP UNEJ, pewara Muhammad Rizqi Hasan dan host Novianti Pratiwi, keduanya mahasiswa FIB UNEJ. Kegiatan webinar dibuka secara resmi oleh Koprodi PBSI FKIP UNEJ, Dr. Rusdhianti Wuryaningrum, S.Pd., M.Pd.
Dalam sambutannya, Rusdhianti Wuryaningrum menyampaikan apresiasinya atas kegiatan webinar hari ini dengan pembicara yang unggul. Dirinya juga menyampaikan ucapan terima kasih karena Prodi PBSI telah dilibatkan secara penuh, baik sebagai pembicara, moderator, maupun pembuka acara. Disampaikan juga bahwa topik Feminisme Nusantara merupakan topik menarik. “Topik feminisme menjadi bagian dari tugas akhir mahasiswa. Untuk itu, forum ini penting untuk diikuti semua kalangan, termasuk oleh mahasiswa,” kata Dhian.
Wiyatmi, narasumber pertama, yang memaparkan materi berjudul “Feminisme Nusantara”, menekankan bahwa feminisme bukanlah gerakan universal dengan konsep homogen yang dapat mewakili seluruh perempuan. Perempuan kelahiran Purworejo ini menjelaskan bahwa feminisme Nusantara merupakan satu istilah yang digunakan untuk menyebut konsep, pemikiran, dan praktik kesetaraan gender di Nusantara (atau Indonesia di era prakemerdekaan).
Lebih lanjut, Wiyatmi memaparkan bahwa sejumlah hasil penelitian, termasuk data arkeologis dan sejarah, menunjukkan feminisme Nusantara telah berkembang sejak abad ke-6, ketika Ratu Shima diangkat sebagai raja Kalingga (674—695) melanjutkan suaminya yang mengundurkan diri karena memilih menjadi pertapa. “Hal ini tampak dari beberapa prasasti, di antaranya Prasasti Tukmas di Seda Lebak, Magelang. Prasasti Sojomerto di Batang. Candi Angin dan Candi Bubrah di Desa Tempur, Keling, Jepara,” kata Wiyatmi, yang juga Wakil Ketua Bidang Pengembangan HISKI Pusat.
Ketika menjelaskan tentang feminisme gelombang pertama, Wiyatmi membandingkan dengan para tokoh perempuan di sejumlah kerajaan di Nusantara, mulai dari Ratu Shima (Raja Kalingga, abad ke-6), Ratu Suhita (Raja Majapahit, abad ke-14), hingga Sultanah Safiatuddin (Sultan Aceh, 1631—1975). Lebih lanjut, dalam feminisme gelombang kedua, Wiyatmi membandingkan dengan Kartini (1879—1904), Roehana Koeddoes (1884—1972), hingga Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan Maria Josephine Catherine Maramis. “Perjuangan mereka menjadi jejak feminisme Nusantara,” tegas Wiyatmi, yang telah menerbitkan buku Feminisme dan Penelitian Sastra Feminis (2021).
Dalam merespons audiens, Wiyatmi menjelaskan bahwa feminsime Nusantara merupakan upaya penyadaran baru terhadap gerakan feminisme dengan mengakomodasi konteks kultural, etnis, dan berbagai kearifan lokal. Ditekankannya bahwa peran perempuan dalam ranah publik harus dicermati, karena bisa saja hanya sebagai objek atau pelengkap, bukan subjek. Di sisi lain, perempuan yang berada dalam ranah privat, tetapi menjadi pengendali dari berbagai kepentingan, juga menunjukkan peran penting perempuan. “Jadi, bukan persoalan ranah publik atau privat, tetapi keberadaan perempuan sudah memiliki peran atau belum, sudah menjadi subjek atau belum?” tandas Wiyatmi.
Furoidatul Husniah, narasumber kedua, memaparkan materi berjudul “Perempuan Santri dalam Karya Sastra Indonesia: Perspektif Feminisme Nusantara”. Perempuan kelahiran Jember ini menekankan konsep feminisme Nusantara sebagai feminisme yang sesuai dengan konteks kenusantaraan, tak lepas dari penghargaannya terhadap budaya lokal dan keragaman perbedaan, sehingga tidak meniru secara mentah-mentah konsep feminisme Barat. Disampaikan pula tentang nilai feminisme Nusantara, meliputi kesetaraan gender, penghargaan terhadap perbedaan, solidaritas antarperempuan, dan keberagaman.
Di bagian lain, juga diungkap tentang identitas dan peran perempuan santri dalam kaitannya dengan feminisme Nusantara. Dijelaskan bahwa peran perempuan santri dalam masyarakat Nusantara juga penting. Mereka tidak hanya sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarga, tetapi juga sebagai penggerak sosial yang aktif dan berperan dalam berbagai gerakan kemasyarakatan. “Perempuan santri juga memiliki peran sebagai penjaga adat dan budaya, serta sebagai agen perubahan yang mampu memperjuangkan hak-hak perempuan,” jelas Furoidatul, yang akrab dipanggil Ida, yang telah menerbitkan artikel “Representation of the Strengths of Santri Women in Pesantren Novels: a Feminism Antropological Perspective” (2022).
Lebih lanjut, Ida memaparkan konteks karya sastra yang merepresentasikan perempuan santri, yakni novel Dua Barista (Najhaty Sharma) dan Hati Suhita (Khilma Anis). Karya yang dihasilkan oleh perempuan pengarang dengan latar belakang lingkungan pesantren tersebuh menunjukkan peran penting perempuan santri. Dalam kedua novel diungkap persoalan perjodohan dalam tradisi pesantren, perjuangan kehidupan rumah tangga yang bukan hanya sakinah mawadah warahmah tetapi juga maslahah atau kemaslahatan, dan relasi gender di lingkungan pesantren. “Dalam Dua Barista banyak kritik sosial, sedangkan dalam Hati Suhita menunjukkan kekuatan perempuan santri yang berbeda dari perempuan lain ketika menghadapi opresi atau tindakan pemaksaan,” jelas Ida, yang juga telah menulis “Fostering and Developing Islamic Boarding School (Pesantren) Literature in East Java” (2019).
Webinar NGONTRAS#23 yang dihadiri 230-an partisipan, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Setelah sesi penyerahan sertifikat secara simbolis oleh Dra. Supiastutik, M.Pd. kepada narasumber, acara ditutup oleh pewara dengan pantun.
Permadi memang putra Pandu, tapi Kunti lebih berarti. Tak terasa waktu berlalu, sudah saatnya kita akhiri. Dewi Kunti ibu sejati, pendidik ulung perempuan hebat. Cukup sekian diskusi hari ini, sampai bertemu di NGONTRAS#24.
Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.