Yudi Latif: Jalan Baru Kebangkitan di Akan Datang
Berita Baru, Tokoh – “Kebangkitan selalu merupakan usaha kesengajaan, gerak maju peradaban selalu usaha kesengajaan, Sumpah Pemuda dibangun dengan usaha kesengajaan, kita merdeka dibangun dengan usaha sadar secara sengaja, tidak ada gerak maju, gerak beradab tanpa secara sengaja dengan terencana,” kata Yudi Latif dalam acara Kongres Kebangsaan yang digelar Pakar Aliansi Kebangsaan dan MPR RI pada Momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021 di Gedung Nusantara IV MPR RI.
Pengamat kenegaraan dan keagamaan itu menyampaikan bahwa bangsa ini tidak akan berjalan baik-baik saja hanya dengan tiba. “Dan dari mana kita harus memulainya?” Yudi mempertanyakan. “Pertama dengan keyakinan, oleh karenanya Pancasila dimulai dari ketuhanan we a to the life,” katanya menjawab pertanyaan itu. Keyakinan itu, baginya, merupakan the law of attraction. Ia menerangkan bahwa insan yang yakin memiliki prasangka baik terhadap sesuatu yang sifatnya transenden pintu-pintu berkah akan terbuka.
Menurut penulis buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas ini menjelaskan bahwa di saat Indonesia hendak merdeka tak seorang pun yang percaya. Saat itu, Indonesia dihadapkan dua kekuatan, sekutu, dan poros besar. Menurutnya, ketidakpercayaan bangsa lain Indonesia tidak akan merdeka wajar. “Di bawah Belanda, suatu noktah kecil di Eropa, kita dijajah beratus-ratus tahun. Jadi bagaimana mungkin kita bisa merdeka?” katanya
Akan tetapi founding fathes atau pendiri bangsa, Yudi Latif mencontohkan, sebagai cerminan pemahaman tentang ketuhanan. Ia menilai bahwa Tuhan itu sesuatu yang tidak bisa dibatasi oleh perhitungan di atas kertas. Sesuatu yang memungkinkan atau yang tidak mungkin, katanya, bisa menjadi mungkin.
“Kalau kamu yakin sesuatu itu bisa terjadi. Bahkan kata Yesus Kristus, kalau kamu yakin bisa berjalan di atas air laut, semesta akan membuatmu bisa. Dan betul ternyata keyakinan yang penuh itu Indonesia bisa merdeka,” ungkapnya.
Keyakinan tanpa vision itu, kata Yudi, ibarat suatu kebutaan. Para pendiri bangsa dibalik keyakinan dan kepercayaan dirinya ditopang oleh suatu visi yang terang tentang kemerdekaan dan pasca merdeka. Buntutnya, visi-visi itu dirumuskan dengan membentuk BUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan). Dari situlah, filosofi negara dan konstitusi diperbincangkan. Para pendiri bangsa, lanjutnya, telah menyiapkan road map bangsa dan negara ke depan.
Dalam acara memperingati Sumpah Pemuda tahun lalu itu, Yudi mengajak audiens berpikir. Ia memetakan bahwa dalam menjalankan pemerintahan demokrasi dapat menggunakan Pancasila, yakni sila ke empat. Ia menerangkan, dalam sila ke empat itu diapit oleh sila pertama, kedua, dan ketiga. “Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan.” Di sisi sebelah kanan adalah keadilan sosial. “Cara berpikirnya seperti itu,” terangnya.
“Inilah demokrasi yang dikehendaki sebagai arah ke depan agar bisa membawa bangsa masyarakat yang merdeka, bersatu, adil dan makmur itu memerlukan prasyarat rohaniah, prasyarat mental, prasyarat kultural,” terangnya. Hal itu, kata dia, bisa dimulai dengan prasangka dan iman yang memancarkan energy positif. Ia menegaskan hanya dengan positive emossion, gerakan nasional bisa dijalankan bersama untuk tujuan yang lebih baik.
Setelah pancaran iman itu kemudian masuk ke sila kedua. Pada sila kedua itu kuncinya untuk menggenggam kemanusiaan dengan dua prasyarat, yakni pertama care (saling peduli terhadap sesama) dan kedua semangat liberty (kebebasan). Kemudian ia memperinci lagi bahwa dalam liberty atau kebebasan itu terbagi menjadi dua; negative liberty yang bersarikan merdeka dari penindasan, penjajahan, dan diskriminasi, serta ketakutan. Sedangkan yang kedua, adalah positive liberty, yakni merdeka untuk mengembangkan diri, merdeka untuk membangun kebangsaan yang lebih baik, dan merdeka mencapai nilai leluhur kemanusiaan.
Yudi menilai negative liberty Indonesia belum mengarah pada positif liberty yang optimal. Dua prasyarat, care dan liberty merupakan dua hal yang berkelindan. “Inklusi, saling terhubung, mempunyai akses dalam pendidikan, kesehatan, perbankan, permodalan, dan muncul trust di antara kita. Ada koneksi inklusi itu kita kuat dalam persatuan,” tegasnya. Setelah demokrasi dengan beberapa pra syarat itu telah dijalankan maka tujuannya merupakan keadilan sosial. Ia mengutip kata Soekarno, bahwa demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi tidak akan bertahan lama dan akan menikam demokrasi itu sendiri.
“Sosial politik dan sosial ekonomi menunjukan bahwa kesenjangan hingga level tertentu itu ditoleransi. Karena tanpa adanya derajat kesenjangan, tidak ada insentif bagi meritokrasi. Dengan hanya ada sedikit ruang kesenjangan maka ada insentif bagi pencapaian prestasi manusia,” ujarnya. Ia mengatakan bahwa dalam suatu negara seharusnya semua sama rata, sama rasa itu. Tidak ada insentif bagi meritokrasi. Sebab kesenjangan itu diperlukan untuk mendorong prestasi atau pencapaian. Hanya saja, Yudi menegaskan bahwa apabila kesenjangan tersebut terlalu lebar maka itu tidak hanya mengancam si miskin, namin juga ancaman bagi yang kaya.
Ia mencontohkan di Amerika Serikat imigran yang relatif menguasai. Dan Amerika menjadi pelopor universal education dan masuk universitas gratis pascaperang dunia kedua. Hanya saja berjalannya waktu, kesenjangan dibiarkan terlalu lebar. Sekolah-sekolah, universitas-universitas jatuh ke golongan elit. Dewasa ini, sekolah elite yang melahirkan kompleks elit, dan berbuntut pada industri yang hanya menerima lulusan sekolah elit. “Itulah yang disebut jebakan meritokrasi,” kata Yudi. Berbeda dengan aristokrasi lama, ia melanjutkan, sebagai owner kemudian menghire the best men dan british men dari berbagai tempat middle class untuk bekerja di perusahaannya.
“Tata kelola yang baik harus memberi peran-peran yang proposional, mana yang sebaiknya digarap oleh negara, mana yang sebaiknya digarap oleh komunitas dan mana yang sebaiknya di kelola negara. Dunia usaha bukan lawan dai negara tetapi dunia usaha adalah pathner dalam usaha kemakmuran kita hidup bersama,” terangnya.
Penguatan Komunitas Rahim Nilai
Yudi memperjelas bahwa nilai-nilai itu terbentuk oleh komunitas. “Komunitas adalah pemasok nilai. Komunitas adalah rahim nilai,” jelasnya. Ia menyebutkan bahwa persoalan nilai sepatutnya dikembalikan ke komunitas-komunitas. Seperti, komunitas agama, komunitas sekolah, komunitas media, komunitas adat, komunitas minat bakat, komunitas kerja, organisasi masyarakat, organisasi politik, kata Yudi, “Itulah gembala nilai Pancasila yang sesungguhnya.”
Jika nilai itu dilakukan dengan sukarela maka Pancasila merupakan sesuatu yang diperlukan everyday life. “Bukan hanya kepentingan dari negara.”Sebaliknya jika Pancasila terlalu indoktrinasi top down, Yudi memperinci, warga negara akan melihat itu sesuatu yang dipaksakan. Imbasnya Pancasila tidak menjadi organik dalam hidup. Ia menyarankan apabila DPR dan MPR mengkampanyekan empat pilar, bekerjasamalah dengan komunitas. Pasalnya, Yudi melihat tugas terbaik MPR dan DPR yakni fokus memperbaiki tata kelola negara, tata kelola pemilu, tata kelola otonomi, tata kelola riset dan tata kelola pemerintah.
Terkait kemakmuran berikan kepada dunia usaha. Menurut dia, tidak ada negara makmur tanpa dunia usaha yang berkembang maju. Ia menilai, aktor utama kemakmuran adalah dunia usaha. “Baik itu BUMN, swasta maupun koperasi yang sifatnya gotong royong dan saling tolong menolong,” katanya. Menurut Yudi setiap elemen memiliki fungsi dan tugas masing-masing. Namun secara umum itu dipersatukan dan dijahit oleh visi-misi bersama dalam membentuk negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. “Itulah kira-kira yang akan menjadi jalan baru kebangkitan Indonesia di masa yang akan datang” harapnya.