Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Bapak Pluralisme, Sang Reformis Demokrasi Indonesia

Bapak Pluralisme, Sang Reformis Demokrasi Indonesia



Oleh: Liseh

Bapak Pluralisme, Sang Reformis Demokrasi Indonesia

Lahir dengan nama Abdurrahman Ad-dakhil di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, kemudian lebih dikenal dengan KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur. Mengenai tanggal lahirnya ada dua pendapat, ada yang menyatakan beliau lahir pada 04 Agustus 1940 dan ada pula yang menyebut 07 September 1940. Dalam cuitan Allisa Wahid di Twitter menjelaskan, “Ultah Gus Dur hari ini? Iya. 7 Sept, hari ulang tahun yang asli. 4 Agt, hari ulang tahun yang legal.”

Meski demikian, kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan keluarga ningrat. Usia 5 tahun sudah lancar membaca Al-Qur’an dengan berguru pada kakeknya sendiri, KH. Hasyim Asy’ari. Dari kakeknyalah ia banyak mengenal tokoh penting politik yang sering berkunjung ke kediaman kakeknya. Tahun 1949, ayahnya diangkat menjadi Menteri Agama RI, maka sekeluarga pindahlah ke Jakarta. Sehingga perjumpaannya dengan banyak orang dibanyak bidang profesi yang dulu dijumpainya di rumah kakeknya, berlanjut saat ayahnya menjadi menteri (Faisal Ismail, 2004).

Anak pertama dari 6 bersaudara ini lahir dari pasangan KH. Abdul Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah. Ayahnya merupakan putra KH Hasyim Asy’ari, pendiri Ponpes Tebu Ireng dan pendiri NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia, mungkin bahkan di dunia. Dengan jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang. Sementara ibundanya juga puteri dari tokoh besar NU, KH. Bisri Syamsuri, pendiri Ponpes Denanyar Jombang dan Rois Aam Syuriah PBNU. Dengan demikian secara genetik, Gus Dur merupakan seorang santri dan priyayi sekaligus, sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia (Greg Barton, 2002).

Gus Dur kecil juga dikirim ayahnya untuk les privat Bahasa Belanda pada seorang warga Jerman yang masuk Islam, Willem Buhl, yang kemudian mengantarkannya mengenal musik klasik. Lepas SD, Gus Dur melanjutkan ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) yang dikelola gereja katolik di Jogjakarta. Ia kos di rumah KH. Junaid, guru SMEP sekaligus pemimpin Muhammadiyah di kota itu. Paginya mengaji pada Kiai Ma’sum di Pesantren Krapyak, siangnya sekolah dan malamnya berdiskusi mengenai berbagai hal dengan KH Junaid. Di Jogjalah kemampuan membaca Gus Dur semakin meningkat. Gus Dur mulai belajar Bahasa Inggris dan membaca karya sastrawan dunia pada usia remaja. Selain itu, Sumantri, salah seorang gurunya yang juga merupakan anggota PKI, memberikan buku-buku Marxis-Lennis padanya (Faisal Ismail, 2004).

Pada tahun 1964-1966 Gus Dur kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo. Ia banyak menggunakan waktunya untuk menonton film terbaik Prancis, Inggris dan Amerika, serta membaca buku-buku di perpustakaan Al-Azhar. Menurutnya, sistem pengajaran di Al-Azhar dinilai ketinggalan zaman. Kemudian ia pindah ke Baghdad, bukan untuk memperdalam studi ke-Islaman, melainkan sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial. Tahun 1971 Gus Dur harus kembali ke Indonesia, menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai 4 anak; Allisa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari (Faisal Ismail, 2004).

Gus Dur pernah mendapat penghargaan Man of the Year 1990 oleh majalah Harian Surya Surabaya. Pernah pula beroleh penghargaan Magsaysay dari Filiphina sebagai pengakuan internasional terhadap kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia mewujudkan masyarakat demokratis, terbuka dan toleran. Gus Dur pandai menempatkan diri. Saat berada di tengah NU, ia adalah agamawan dan ketum PBNU. Saat di DKJ, ia adalah budayawan. Saat bersama Megawati, Habibie dan lainnya, ia adalah politisi. Sebagai seorang intelektual, banyak pula buku yang ditulisnya, diantaranya 3 buku yang diterbitkan pada 1999: (1) Prisma Pemikiran Gus Dur, (2) Tuhan Tidak perlu Dibela, (3) Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman.

Sebelum Jadi Presiden

Islam politik acap kali mendapat tekanan dari pemerintah dan tidak mendapat tempat di pemerintahan Orde Baru. Salah satunya DI/TII yang kemudian dilabeli ekstrimis kanan. Pemerintah menerapkan asas tunggal Pancasila pada 1985 bagi seluruh ormas dan parpol. Meskipun tujuan utamanya untuk mengkooptasi kendali Islam Politik. Gus Dur adalah tokoh yang menerima gagasan pemerintah bahwa nilai-nilai Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Saat menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur lah yang mengembalikan NU ke khittah 1926, tidak lagi terlibat aktif dalam politik praktis. NU kembali menjadi ormas yang aktif memberdayakan masyarakat (Virdika Rizky Utama, 2020).

Saat Suharto menganggap ABRI tak lagi solid mendukungnya dan berusaha menggaet Islam Politik dengan mendekati ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), dengan menjadikan BJ Habibie sebagai Presidium ICMI, saat itu mayoritas Islam Politik bereuforia merasa mendapat dukungan Suharto. Namun Gus Dur tampil sebaliknya. Gus Dur menganggap pemerintah sedang bermain api dengan kelompok Islam radikal yang sangat sektarian dan bisa mengancam persatuan Indonesia (Adam Schwarz, 1994).

Terbukti, banyak anggota ICMI yang menjadi menteri dalam Kabinet Pembangunan VI pada 1992, bahkan lebih banyak lagi anggota ICMI di MPR. 300 dari 1000 anggota MPR merupakan anggota ICMI. Publik menganggapnya sebagai Kabinet Ijo Royo-Royo (hijau merepresentasikan Islam). Dan saat BJ Habibie naik menggantikan Suharto sebagai presiden, publik menganggapnya sebagai representasi kemenangan Islam Politik (Robert Hefner, 2001).

Padahal dibalik euforia itu, pemerintah hanya mengkooptasi kendali Islam Politik. Anggota ICMI yang diisi oleh banyak birokrat dan aktivis Islam, juga masuk menjadi anggota Golkar. Kemudian pengaruh Golkar dikenal juga dengan 3 jalur. (1) Jalur ABRI yang dipimpin oleh Pangab. (2) Jalur birokrat yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. (3) Jalur partai yang dipimpin Ketua Umum Golkar. Melihat Fonemena tak sehat itu, Gus Dur bersama 40 intelektual lintas agama mendirikan Fordem (Forum Demokrasi) untuk melakukan perlawanan gagasan pada Suharto (Virdika Rizky Utama, 2020).

Juli 1997 terjadi Krisis Finansial Asia. Suharto kehilangan kendali pemerintahan. Gus Dur didorong melakukan reformasi bersama Megawati dan Amien Rais, namun ia terkena stroke pada Januari 1998. Sehingga Suharto dapat kembali terpilih, menyebabkan situasi semakin memburuk dengan terjadi kerusuhan Mei 1998. Hingga akhirnya Suharto terpaksa mundur dan digantikan Habibie.

Gus Dur Menangi Presiden

Menyusul pengunduran diri Suharto pada Mei 1998, Indonesia dipimpin secara efektif oleh 2 presiden transisi. Habibie menjaga tahap pembukaan demokrasi Indonesia setelah jatuhnya rezim Suharto dan menerapkan mekanisme yang memungkinkan Pemilu Juli 1999, pemilu pertama yang bebas dan adil di Indonesia setelah 45 tahun. Sementara Gus Dur yang menggantikan Habibie berusaha mendorong kemajuan reformasi demokrasi sejauh mungkin (Greg Barton, 2019).

Meski sempat terserang stroke dan memiliki keterbatasan fisik, bagi mayoritas DPR, Gus Dur jauh lebih baik dari Megawati. Saat itu beliau dapat dikatakan (1) obat bagi kelompok reformis yang kalah pemilu, (2) obat bagi Golkar dan anteknya yang tak ingin berhadapan langsung dengan kaum reformis, (3) obat bagi mayoritas muslim yang tak ingin dipimpin perempuan, dan (4) obat bagi dunia luar, terutama AS yang tak ingin Indonesia dipimpin Amien Rais yang bisa membahayakan mereka (Ishak rafick, 2007).

Golkar setuju untuk mengusung Gus Dur bukan karena mereka yakin Gus Dur mampu menjadi presiden, namun sebaliknya. Golkar butuh memperbaiki citra bahwa mereka tak sama dengan Golkar rezim Suharto. Golkar mendukung Gus Dur sebab ia sosok yang demokratis dan pluralis yang sering mengkritisi Suharto namun tak jarang juga tetap menjaga komunikasi dengan Suharto. Meskipun dalam Deklarasi Paso yang dimotori oleh Gus Dur, Amien Rais, dan Megawati menyepakati untuk menghadang kekuatan status quo dalam pemilu 1999, namun ketika Golkar turut mendukung Gus Dur, Golkar seolah ambil bagian menjadi Poros Tengah, yang terdiri dari Islam radikal, konservatif muslim, dan kaum demokrat muslim yang satu suara mendukung majunya Gus Dur (Virdika Rizky Utama, 2020).

Satu hal yang mungkin juga disadari Gus Dur kala itu, ia menangi pilpres bukan karena dipilih rakyat, melainkan oleh mesin politik bernama “Poros Tengah”. Gus Dur memang memiliki legitimasi, namun bukan berarti juga kredibilitas. Sebab kuatnya intervensi pemerintah. Gus Dur berhasil mengalahkan Megawati dengan 373 suara, sementara Megawati 313 suara, 5 abstain. Hasil pemilihan termaktub dalam Tap MPR RI No.VII/MPR/1999 dan dilantik pada 20 Oktober 1999.

Bapak Pluralisme

Banyak orang menganggap pemikiran Gus Dur terlalu jauh melampaui zamannya, sementara lingkungannya masih belum siap menerima gagasan revolusiner itu. Pernyataannya yang seringkali kontroversial, membuat banyak pihak sulit memahami bahkan menentang. Kendati demikian, pemikirannya tak jarang menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya Bangsa Indonesia ke depannya. Terbukti, banyak predikat yang kemudian dilekatkan padanya, mulai dari pejuang demokrasi, bapak pluralisme, pemimpin ormas Islam terbesar, intelektual, agamawan (kiai), hingga budayawan dan politisi.

Pasca kejatuhan rezim Orba, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan Opsi Referendum otonomi bukan seperti Referendum Timor Timur untuk merdeka. Pendekatannya yang terkesan lembut dan simpatik banyak mengundang protes, namun itu terbukti mampu meletakkan pondasi awal perdamaian di Aceh. Terhadap Irian Jaya, Gus Dur melakukan netralisasi dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya dan berhasil meyakinkan petinggi Irian Jaya untuk merubah nama menjadi Papua dan mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora (Abdul M. Mulkhan, 2010).

Suatu ketika, Wiranto melapor kepada Gus Dur terkait adanya pengibaran bendera Bintang Kejora. Mendengar laporan itu, Gus Dur bertanya. “Apa masih ada bendera Merah Putihnya?”
Wiranto menjawab bahwa ada satu bendera Merah Putih yang dikibarkan di sebuah tiang tinggi. Mendengar jawaban itu, Gus Dur menanggapi dengan santai.
“Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”
Namun Wiranto kembali menukas dan menyebut pengibaran bendera Bintang Kejora itu berbahaya. Gus Dur kemudian menegur Wiranto.
“Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya,” kata Gus Dur.
(Dikutip dari nasional.tempo.co, 2021).

Selain itu, Gus Dur memperbolehkan umat Cina Konfusius melakukan perayaan secara terbuka yang sebelumnya tidak diperbolehkan di era Suharto. Melekatlah gelar Bapak Pluralisme padanya sebab semasa hidupnya, ia senantiasa membela kaum minoritas dan anti kekerasan serta ketidakadilan. Bahkan Gus Dur berani meresmikan Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia dengan mengeluarkan Perpres No.6/2000 mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967 yang melarang segala bentuk ekspresi agama. Gus Dur juga mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Menurut Gus Dur, tuhan tidak perlu dibela. Tapi manusia sebagai makhluk-Nya lah yang harus dibela. Gus Dur memang tidak secara gamblang menyebut dirinya penganut pluralisme yang membenarkan seluruh agama, namun Gus Dur memberikan rasa hormatnya kepada setiap agama atau kepercayaan, sebagaimana tertera dalam UUD 1945 Bab XI Pasal 29 butir 2 (Abu Naim, 2014).

Presiden Transisi

Menurut Huntington (1997) dalam bukunya Gelombang Demokratisasi Ketiga, politik demokratis adalah sistem dengan pembuat keputusan kolektif paling kuat yang dipilih melalui pemilu yang adil, jujur dan berkala. Dimana para calon bersaing bebas dan hampir semua penduduk memberikan hak suaranya.

Ada 5 pola perubahan dari rezim otoriter menuju rezim demoktratis. (1) Pola siklus selang-seling suatu negara menganut sistem otoriter dan demokrasi dalam rentang waktu pendek. Contohnya negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Brazil, Peru, Bolivia dan Ekuador. (2) Mencoba kedua kalinya. Suatu negara yang pernah dalam rezim otoriter yang sangat lama, diselingi percobaan demokrasi tapi berumur pendek. Namun pada akhirnya memilih demokrasi yang stabil. Contohnya Jerman, Italia, Australia, Jepang, Venezuela, dan Polandia. (3) Demokrasi terputus seperti India, Filipina, Uruguay dan Cili. (4) Transisi langsung dari otoriter stabil ke demokrasi stabil. Contohnya Rumania, Taiwan dan Meksiko. (5) Dekolonialisasi yang memperkenalkan sistem demokrasi pada jajahannya (Samuel Huntington, 1997).

Lebih lanjut, Huntington menjelaskan, dalam masa transisi kekuasaan setidaknya ada 2 kubu elit, rezim otoriter dan oposisi. Rezim otoriter terdiri dari kelompok garis keras-konservatif atau status quo. Sedang oposisi merupakan kelompok moderat-revolusioner (Samuel Hantington, 1997). Setelah Suharto jatuh, masa transisi menuju demokrasi terbagi atas (1) sisa-sisa kelompok lama dan (2) kelompok pro-reformasi dan demokrasi. Karena memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, transisi kekuasaan terjadi bertahap. Hal ini memungkinkan kekuatan lama tetap terlibat dalam pemerintahan (Virdika Rizky Utama, 2020).

Memang, memilih jalan revolusipun sepertinya tidak memungkinkan, sebab hingga awal 1998 pun, syarat-syarat terjadinya revolusi tidak terpenuhi. Meskipun krisis ekonomi langsung diikuti krisis politik, namun prasyarat objektif munculnya pemimpin kharismatik dan berpengaruh yang memimpin gerakan tidak ada. Hal inilah yang disadari pula oleh Gus Dur. Terlepas dari fungsinya sebagai pemutihan politik, ia harus berhati-hati, sebab reformasi dapat mengarah pada ajang balas dendam antara kekuatan yang pada era Suharto mendapat perlakuan tidak adil. Perjalanan pemerintahan transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratis tak akan pernah mudah, sebab berlangsung secara gradual dan kekuatan rezim lama masih mendominasi suprastruktur dan infrastruktur politik yang ada (Virdika Rizky Utama, 2020).

Usaha Gus Dur “bersih-bersih” sisa kekuatan lama diawali dengan:

  1. mengganti Parni Hadi, ketua LKBN Antara, dengan M. Sobary. Di masa Habibie, berkembang isu Parni sengaja ditempatkan untuk mengamankan kebijakan pemerintahan Habibie.
  2. Memecat Gubernur BI, Syahril Sabirin, yang terindikasi kasus korupsi Bank Bali 1998.
  3. Ketika Fuad Bawazier membujuk Amien Rais untuk meminta Gus Dur menjadikannya meteri, Gus Dur menolak meskipun akhirnya memilih jalan tengah dengan mengatakan “Menkeu tetap dari PAN, namun saya yang menunjuk siapa orangnya.” Dan Gus Dur menunjuk Bambang Sudibyo.
  4. Memecat Hamzah Haz selaku Menko Kesra.
  5. Memecat Wiranto selaku Menko Polkam.
  6. Merombak struktur sekretariat negara (setneg) yang sebelumnya terpusat pada satu menteri dan sering mengendalikan aspek pemerintahan di luar jalur kewenangannya, maka dijadikanlah 5 sekretariat: sekretaris negara, kabinet, kepresidenan, militer, dan pengendalian pemerintahan.
  7. Membubarkan Departemen Penerangan yang dianggap sering memeras uang dari penerbit media.
  8. Membubarkan Departemen Sosial sebab korupsi dan pemerasan sudah kian mendarah daging sehingga departemen ini tak bisa lagi direformasi.
  9. Perombakan berbagai jalur birokrasi Di era Suharto, sebab jalur birokrasi merupakan lumbung korupsi atau jaringan KKN terbesar. Sumitro Djojohadikusumo menyatakan kebocoran anggaran hingga 30% di birokrasi (Syamsudin Haris, 1999).

Pada awalnya semua parpol termasuk militer harus mendapat bagian sepadan menurut wilayah, suku dan warga keturunan. Karena sedang bergolak, Indonesia bagian timur mendapat 4 kursi. Kemudian diimbangi antar agama jadi patokan serius. Sehingga perwakilan Hindu, Budha, Kristen dan Katolik juga dapat kursi. Dapat dibayangkan banyaknya kendala berlapis sembari menampungnya dalam susunan yang terbatas. Kabinet yang awalnya direncanakan 25 orang, membengkak jadi 34 orang. Yang semula kabinet tidak mengenal menteri koordinator (menko), akhirnya dikompromikan demi menampung dukungan. Yang akhirnya menjadi paradoks; niat baik Gus Dur hendak mengikat persatuan menjadi bibit perpecahan yang akan meluas nantinya. Susunan kabinet ini memancing banyak kritikan masyarakat bahwa banyak menteri yang “salah duduk”. Tidak sesuai dengan keahliannya. Contohnya, (1) Susilo Bambang Yudhoyono yang perwira militer menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi; (2) Sony Keraf yang ahli filsafat jadi Menteri Negara dan Lingkungan Hidup; (3) M. A.S. Hikam, ahli politik jadi Menteri Riset dan Teknologi (Tempo, 7 November 1999).

Sebenarnya tindakan Gus Dur yang tidak konvensional ini dimaksudkan hendak mengikis salah kaprah di masyarakat bahwa profesionalisme tidak bisa diukur dari satu sisi, mengingat tugas menteri bukan hanya menangani satu bidang. Tapi juga sejauh mana orang tersebut mampu menciptakan iklim kerja yang baik dan mengorganisir pakar yang berada di bawah tanggungjawabnya. Misal Menteri Riset dan Teknologi tidak semata melakukan kerja mekanik pengembangan teknologi. Gus Dur melakukannya sebab selama ini bidang teknologi hanya dikuasai teknokrat yang cenderung berfikir mekanik eksak, sehingga nilai-nilai sosial dan kultural cenderung kurang diperhatikan. Lebih lanjut Gus Dur menegaskan, Jabatan menteri adalah jabatan politis, bukan jabatan karir. Gus Dur hanya ingin melakukan perbaikan secara cepat dengan memilih orang yang dianggap jujur. Oleh sebab itu, syarat keilmuan tidak dinomorsatukan (Tempo, 7 November 1999).

Di bidang ekonomi, Gus Dur mendesain ulang sistem ekonomi konglomerasi menjadi ekonomi kerakyatan. Sayangnya, kabinet Gus Dur adalah kabinet “supermi”, super kompromi. Karena berasal dari semua partai dan koalisi. Belum genap 100 hari kerja, kabinet masih penuh kontroversi dan tak padu. 50 hari berjalan, resuffle sudah dilakukan Gus Dur. Sebenarnya, Gus Dur dengan segala keterbatasannya mencoba menjalankan amanat reformasi. Pemerintahan yang dibangunnya pun awalnya bersifat kompromis untuk meredam gejolak. Ia masih mengakomodir kekuatan lama, namun tak bertahan lama. Saat Gus Dur melakukan banyak resuffle dan serangkaian kebijakannya dianggap merugikan status quo (seperti pengusutan keluarga Suharto dan kroninya, membubarkan Departemen Penerangan dan meminta maaf pada korban pembunuhan massal 1965) saat itu pula Gus Dur mendapat tekanan, tidak hanya dari parlemen tapi juga eksta parlemen dan media massa (Virdika Rizky Utama, 2020.

Reformasi Militer

Gus Dur mereformasi peran militer melalui 2 jalan, yakni: (1) Memisahkan Menhan dengan jabatan Panglima TNI, menempatkan sipil menjadi Menhan. Memilih dari matra angkatan Laut sebagai Panglima TNI dengan alasan Indonesia negara maritim. (2) Melikuidasi Bakortanas (Badan Koordinasi Strategi Nasional) dan Litsus (Penelitian Khusus). Gus Dur sungguh-sungguh ingin membentuk militer yang profesional dengan memisahkan TNI-Polri. Usaha demiliterisasi ini merupakan upaya menegakkan supremasi sipil (Virdika Rizky Utama, 2020).

7 langkah yang disepakati Gus dur dan Wiranto yang kemudian disosialisasikan dalam Rapim TNI: (1) TNI hanya akan bertanggungjawab pada pertahanan negara. Bidang keamanan masyarakat adalah tanggungjawab Polri. Dan keduanya (TNI dan Polri) tidak lagi melaksanakan fungsi sosial-politik. (2) Reformasi internal TNI meliputi: pembenahan piranti lunak, merevisi UU pokok pertahanan dan doktrin, dan validasi organisasi. (3) TNI wajib mengamankan kebijakan pemerintah yang sah. (4) Anggaran diprioritaskan pada peningkatan profesionalisme dan pemeliharaan sistem. (5) Pembinaan TNI yang profesional, efektif, efisien dan modern. (6) TNI membantu Polri untuk menegakkan keamanan sesuai perundang-undangan yang berlaku. (7) Semua prajurit TNI wajib berperan aktif membangun citra positif (Virdika Rizky Utama, 2020).

Namun usaha itu tidak mudah, tentara mulai menunjukkan sikap tidak hormat pada Gus Dur saat ia menyatakan akan memberhentikan Wiranto pada 1 Februari 2000 sebab Wiranto dinyatakan terlibat pelanggaran HAM di Timor Timur. Dalam investigasi ditemukan bahwa rangkaian kekerasan di timor Timor terjadi bukan karena perang saudara, melainkan tindakan kekerasan sistematis. Ditemukan keterkaitan antara aparat TNI, Polri serta birokrasi sipil dengan milisi. Pemecatan Wiranto dimaksudkan bukan sebagai sikap antimiliter, melainkan mencegah agar tidak muncul militerisme (Virdika Rizky Utama, 2020).

Tekanan Lawan

Meski tak menimbulkan riak perlawanan di media, tapi di internal TNI muncul isu kudeta. Wiranto dan Djaja Suherman dinilai aktif menemui Islam garis keras. Sekali lagi, Virdika (2020) memberikan sajian dahsyat dalam bukunya dengan memaparkan “Dokumen Perkembangan Situasi” yang beredar dikalangan petinggi TNI-Polri dan anggota DPR. Dalam dokumen tersebut berisi hasil 14 kali rapat yang berlangsung antara Mei-Juli 2000 yang dilakukan kelompok Wiranto.

Isi dokumen tersebut diantaranya:

  1. Mendorong aksi separatis di berbagai kota, ciptakan kerusuhan mulai Irian hingga Aceh. Menyuplai senjata kepada Komando Jihad yang berangkat ke Maluku.
  2. Mendorong aksi mahasiswa menjadi anarkis dengan isu adili Suharto. Menyiapkan bom molotov agar aksi semakin anarkis dan timbul banyak korban.
  3. FPI bertugas sweeping malam dengan target memancing kerusuhan.
  4. Tugas utama perwira tinggi melakukan anektasi, anti dwi fungsi. Ciptakan konflik di internal TNI-Polri.
  5. Pencetakan uang palsu untuk menambah runyam ekonomi negara dan keuntungannya untuk mendanai gerakan provokasi.
  6. Gencarkan operasi bersandi “Politik No, Islam Yes” di kalangan Laskar Jihad, FPI, Ahlussunah waljama’ah, Front Hisbullah dan GPK.
  7. Menebarkan isu bahwa Gus Dur reinkarnasi komunis.
  8. Menjatuhkan Gus Dur dengan mem-follow up kasus Bulog dan Brunei serta mendukung interpelasi DPR sebagai ajang pembantaian kredibilitas Gus Dur.
  9. Melakukan lobi luar negeri mempengaruhi petinggi Negara Islam bahwa Gus Dur didukung komunis Cina dan Rusia agar negara-negara tersebut mengirimkan agen teroris ke Indonesia untuk melakukan masterplan kerusuhan. Rekruitmen sniper dan pembuat bom sebanyak 500 personil. Peledakan bom dengan sasaran BEJ, Blok M, Kejaksaan, Gereja Kathedral, Stasiun Gambir, Trisakti, Sarinah, Kedubes AS, Australia, Malaysia, dan sekitar Monas.
  10. Memperkuat dukungan anggota dewan melalui kerja sana Golkar, TNI-Polri, serta kelompok kanan lainnya melalui Amien Rais.

Tentu saja Djaja Suparman tidak mengakui isi surat tersebut. Namun Letkol Djuanda yakin dengan analisanya, bahwa biang keroknya adalah orang-orang Orba dengan mengeksploitasi Islam sebagai bendera (Virdika Rizky Utama, 2020).

Kedudukan Gus Dur sebagai presiden semakin goyah tatkala Gus Dur memecat Menperindag, Jusuf Kalla, dan Menteri BUMN, Laksamana Sukardi. Solidaritas masa yang menolak pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi telah menciptakan persatuan alternatif kekuatan politik antara Golkar dan PDIP melawan Gus Dur, yang sebelumnya berada di posisi berseberangan. Sementara Poros Tengah digunakan untuk memancing historia umat Islam. Amien Rais membuat media masa semakin gaduh mengkritik kepemimpinan Gus Dur. Sementara Fuad Bawazier melalui jaringan HMI dan mahasiswa berjubah Islam, seperti: KAMMI, HAMMAS, IMM, GPI, semakin gencar menebar isu bahwa Gus Dur tidak serius menata reformasi. Meskipun banyak pula kalangan mahasiswa yang mendukung Gus Dur, seperti: PMII, GP Ansor, IPNU/IPPNU, LMND, GMNI, PMKRI, GMKI. Massa ini tidak mampu menandingi kegaduhan politik yang disusun sistematis oleh Amien Rais dan kawan-kawan (Virdika Rizky Utama, 2020).

Buloggate Dan Bruneigate

Januari 2000, Gus Dur ingin membantu rakyat Aceh dengan memberikan program kesejahteraan masyarakat dengan maksud meredakan konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang kian bergejolak. Ia berinisiatif meminjam cadangan uang tunai yang ada pada Bulog. Sebenarnya ini bukanlah cara baru. Era Suharto dan Habibie juga pernah melakukannya. Hanya saja Gus Dur menolak melaporkannya pada DPR sebab akan dipersulit secara politis. Awal Mei, Gus Dur mendengar bahwa uang Bulog sebesar 4 juta USD hilang dari rekening cadangan. Dilaporkan bahwa Suwondo, bekas tukang pijat Suharto yang juga pernah memijat Gus Dur, yang menerimanya. Sebenarnya hingga akhir sidang diputuskan bahwa Gus Dur tidak ada hubungannya dengan kasus tersebut, namun lawan politik Gus Dur memanfaatkannya dengan menyebar isu bahwa Gus Dur memanipulasi uang tersebut (Virdika Rizky Utama, 2020).

Skandal lain yang hampir bersamaan, akhir Februari 2000, Gus Dur ke Brunei. Sultan Brunei memberikan sumbangan secara pribadi sebesar 2 juta USD untuk membantu rakyat Aceh. Namun Sultan meminta Gus Dur untuk tidak mengumumkannya pada rakyat. Sehingga Gus Dur menyatakan tidak akan menempatkannya pada rekening pemerintah. Sultan tidak mempercayai mereka yang mempunyai akses terhadap rekening pemerintah. Golkar yang merasa perlu meresponnya secara politis, mengerahkan 236 anggota DPR (yang sebagian besar anggota Golkar dan PDIP) untuk mengajukan pembentukan pansus menyelidiki skandal tersebut. Maka dimulailah pelemahan terhadap Gus Dur, penyelidikan ini cenderung membawanya pada pengadilan politis. Gus Dur yang sejak awal kepemimpinannya bertekad membongkar KKN, ternyata dijerat kasus korupsi oleh lawan politiknya (Virdika Rizky Utama, 2020).

Hal ini berdampak pada pengelolaan kebijakan. Presiden tidak mampu memimpin kabinetnya sendiri karena posisinya sedang lemah dan rentan dilengserkan. Presiden dapat memecat menterinya, tapi tak bisa memaksakan arah kebijakan, sebab penggantinya harus dicari dari kalangan yang mendapat banyak dukungan partai. Hal ini dikarenan Indonesia menganut sistem multi-partai. Tanpa dukungan partai mayoritas, ia bisa terlempar dari kursinya. Maka jadilah DPR sebagai sosok yang arogan yang menyatakan sebagai perwakilan rakyat dan interpreter terhadap konstitusi. DPR tidak hanya menguasai eksekutif, tapi juga yudikatif. Jika dibiarkan, maka tirani parlemen akan terjadi (Indra lubis, 2001). Namun, bukan Gus Dur namanya jika mau berkompromi begitu saja demi melindungi kursinya, meminjam istilahnya Pramoedya Ananta Toer, bahwa hak yang berlebihan adalah penindasan. Gus Dur memantapkan pendiriannya untuk mereformasi demokrasi Indonesia secepat yang ia bisa.

Semut Merah

Salah satu dokumen kontroversial yang berhasil Virdika (2020) lampirkan dalam bukunya yang berjudul “Menjerat Gus Dur”, surat laporan yang ditulis Fuad Bawazier kepada Akbar Tanjung tertanggal 29 Januari 2001, 2 hari sebelum Memorandum I DPR kepada Gus Dur. Surat itu merupakan pelaksanaan rencana Semut Merah (Semer), dengan anggaran biaya mencapai 4 T.

Dalam dokumen itu disebutkan bahwa tugas Fuad adalah menggalang opini, dukungan masyarakat, mahasiswa, media, ormas, pengusaha, cendekiawan, serta preman kelompok kanan dalam rangka penjatuhan kredibilitas Gus Dur melalui kasus Buloggate dan Bruneigate, itu skenario pertama, telah berjalan sesuai rencana. Skenario kedua, memaksa Gus Dur mundur dan mendorong Megawati jadi presiden yang akan bisa dikendalikan dan akhirnya akan disingkirkan juga. Dengan Amien Rais sebagai wakil presiden, nantinya bertugas melakukan penggembosan dari dalam lewat issu ketidakbecusan Megawati dalam mengatasi krisis ekonomi dan penyelesaian disintegrasi bangsa. Kendati demikian, dalam wawancara yang dilakukan Virdika terhadap Akbar dan Fuad, tentu saja keduanya mengelak. Akbar meragukan adanya dokumen tersebut dan Fuad mengaku tidak pernah membuat surat kepada Akbar Tanjung (Virdika Rizky Utama, 2020).

MEMORANDUM I

01 Februari 2001 dalam rapat paripurna DPR menjatuhkan Memorandum I kepada Gus Dur dengan 393 suara mendukung, 4 menolak, 58 abstain. Memorandum itu berisi: mengingatkan Presiden yang dianggap melanggar GBHN, oleh sebab: (1) Mengadakan pertemuan rahasia dengan Tomy Suharto, sehingga dianggap tidak konsisten menegakkan hukum untuk membersihkan KKN. (2) Melakukan pinjaman luar negeri tanpa melalui mekanisme dan persetujuan DPR. (3) Melakukan perjanjian internasional tanpa persetujuan DPR.

Gus Dur menjawab Memorandum tersebut dengan menyebut bahwa, “…Isi memorandum tersebut kurang logis, tidak memenuhi syarat konstitusi dan tidak bisa diterima oleh presiden. Saya menerima Memorandum tersebut sebagai kenyataan politik yang tidak bisa dihindarkan. Ini perlu saya tegaskan bahwa sebelum lahirnya Memorandum, pendirian Pansus yang menjadi instrumen adalah ilegal, sebab tidak terdaftar dalam Berita Negara sesuai dengan ketentuan UU No. 6 Tahun 1954…” (Kompas, 29 Maret 2001).

Padahal, faktanya Gus Dur sudah memerintahkan untuk menangkap Tomy Suharto. Saat perintah itu ditolak, Gus Dur sampai memecat Kapolri Rusdiharjo pada 18 September 2000, karena menolak menaati perintahnya. Pemberhentian Kapolri ini juga adalah langkah serius pemerintah untuk mengungkap kasus-kasus yang belum terpecahkan seperti ledakan bom di Bursa Efek Jakarta pada 14 September 2000, sehari sebelum sidang Suharto digelar. Dan ledakan bom di Gedung Pidana Khusus Kejagung, tepat 1 jam setelah Tomy meninggalkan Kejagung, pada 4 Juli silam (Republika, 25 November 2000).

Gus Dur menyatakan, “Kalau urusan dendam dan benci pada Pak Harto, saya juga benci karena hampir 15 tahun saya diinjak-injak, dipersekusi… Saya mau mengajari rakyat bahwa balas dendam dengan sikap emosional tidak menyelesaikan masalah, ada cara-cara lebih beradab untuk menaklukkan lawan tanpa harus menggunakan kekerasan dan cara kasar tidak beradab…” (Virdika Rizky Utama, 2020).

Gus Dur pernah sesumbar pada Wimar Witoelar bahwa tak masalah jika dirinya harus ditembak, asal paling tidak 7 orang yang berkaitan dengan Suharto dapat diproses di pengadilan, dua diantaranya Tomy dan Ginanjar Kartasasmita. Namun Jaksa Agung Marzuki Darusman bekerja sangat lamban sebab ia berasal dari Golkar. Oleh sebab itu kemudian Gus Dur menggantinya dengan Baharuddin Lopa (Greg Barton, 2019).

MEMORANDUM II

30 April 2001, DPR memberikan Memorandum II pada Gus Dur. Sementara Gus Dur semakin tak kenal kompromi mengejar tersangka KKN yang diduga melibatkan Golkar dan sisa-sisa kekuatan Orba. 28 Mei 2001, Jaksa Agung mengirimkan surat hasil penyelidikan kasus Bulog dan Brunei yang menyatakan Gus Dur sama sekali tidak terlibat. Namun parlemen tidak perduli dengan hasil penyelidikan itu. Mereka terus memberikan tekanan pada Gus Dur sehingga mengeluarkan Dekrit adalah perlawanan terakhir Gus Dur (Virdika Rizky Utama, 2020).

Isi Dekrit Presiden diantaranya: (1) Pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu serta (3) membekukan Partai Golkar. Namun dekrit itu tidak mendapat dukungan dari politisi Senayan dan TNI-Polri. Dan Megawati akhirnya membuat keputusan untuk menjatuhkan Gus Dur. Ia mengutus Ryamizard Ryacudu agar mengerahkan tank ke istana untuk mengamankan SI MPR. Kekuatan politik itu berhasil mengunci gerak Gus Dur. Andai Gus Dur hanya membubarkan Golkar sebagai simbol kekuatan lama, mungkin ia masih punya pendukung. Tapi membubarkan parlemen membuat pemakzulan tidak bisa dielakkan (Virdika Rizky Utama, 2020).

Berdasarkan wawancara Virdika dengan Mahfud MD, sebenarnya Gus Dur bisa saja selamat dari pemakzulan. Gus Dur mendapat tawaran akan didukung penuh jika ia mengeluarkan dekrit syariat Islam untuk Indonesia, jutaan orang akan datang ke Jakarta untuk mengamankan dekrit itu. Namun Gus Dur menolak tawaran tersebut, dan Mahfud MD tidak memperjelas lebih lanjut siapakah orang-orang yang memberikan tawaran tersebut. Sebenarnya Gus Dur juga mengharapkan dukungan massa NU, namun dirinya enggan menggunakan NU. Lebih baik ia jatuh, ketimbang memanfaatkan NU dan mendapat citra buruk saat ia jatuh (Virdika Rizky Utama, 2020).

Sidang Istimewa MPR Dipercepat

SI yang harusnya dilaksanakan 01 Agustus dipercepat menjadi 23 Juli 2001 dengan agenda pemakzulan Presiden. Alasannya, Gus Dur memecat Kapolri Bimantoro pada 1 Juni 2001, dan mengangkat Chaeruddin Ismail tanpa pembahasan bersama DPR. Akibatnya Polri terbelah menjadi dua kubu. Bimantoro diberhentikan sebab ia melakukan militerisasi dalam institusi Polri dengan pembelian senjata standar tempur AK-47 sebanyak 1300 pucuk secara diam-diam, tanpa dukungan presiden, malah meminta persetujuan wapres. Selain itu Bimantoro terlibat KKN dalam skandal pengangkatan teman seangkatannya untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Bahkan ketika sudah dinonaktifkan oleh Gus Dur, Bimantoro masih sempat melantik 94 perwira tinggi untuk memperkuat posisi (Rodjil Guhron, 2001).

Gus Dur dengan tegas mengatakan tidak akan menghadiri SI sebab prosesnya yang dianggap ilegal atau tidak sah. SI MPR hanyalah ajang politis. SI dimaksudkan untuk memerikasa tuduhan yang tersimpan dalam bentuk Memorandum DPR bahwa Presiden telah melanggar GBHN. Kemudian Gus Dur lebih memilih mundur dengan legowo ketimbang terjadi kudeta berdarah. Laporan Kompas menyebut bahwa 300.000 relawan berani mati siap berangkat ke Jakarta untuk membela Gus Dur dari upaya pelengseran. Namun jauh-jauh hari Gus Dur menyambangi sejumlah ulama di beberapa pesantren dan berpesan agar ulama tidak terpancing amarahnya atas nama solidaritas umat Muslim. Menurutnya, ulama seharusnya tidak boleh terlalu larut dalam politik. Gus Dur justru sempat menanggapinya dengan humor, “Saya disuruh mundur? Maju saja dituntun.” (NU online, 23 Juli 2019).

Kejatuhan Gus Dur dianggap sebagai character assassination (pembunuhan karakter). Secara yuridis penjatuhan Gus Dur tidak sah. Menurut Mahfud MD yang kemudian menduduki jabatan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, terdapat kejanggalan tentang proses pemakzulan. (1) tahapan memorandum tidak pas. Ada dua fraksi yang tidak hadir. (2) SI MPR dipercepat dari yang semula 01 Agustus 2001 menjadi 23 Juli 2001. Sebenarnya, Dekrit adalah produk hukum istimewa yang dapat membuat presiden yang harusnya melaksanakan hukum, berubah menjadi pembuat hukum. Isi dekritpun wajib bertentengan dengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakan ekstrakonstitusional. Kalau tidak, format dekrit menjadi tidak perlu. Presiden cukup mengeluarkan Perppu. Sebab Dekrit berlandaskan teori hukum darurat negara yang bersifat subjektif menurut pendapat presiden dan tidak tertulis, tanpa dasar ketentuan hukum perundangan (Virdika Rizky Utama, 2020).

Menurut Baharuddin Lopa, dekrit bisa dikeluarkan presiden apabila DPR terus-menerus akan menjatuhkan presiden. Alasannya, dalam sistem presidensil, presiden tidak bisa dijatuhkan oleh DPR. Presiden bisa membubarkan DPR dengan dekrit. Keluarnya dekrit ini sebenarnya blunder politik yang dilakukan oleh Gus Dur. Pasalnya kondisi politik tidak mendukung dan dekrit membangkitkan perlawanan kolektif di parlemen. Namun Gus Dur sendiri sadar bahwa ia sudah kalah dan jalan kompromi sudah tidak ada. Sehingga dekrit merupakan perlawanan terakhir Gus Dur (Virdika Rizky Utama, 2020).

Sebenarnya, Pangdam Jaya Djaja Suparman menawarkan diri untuk mengakhiri kebuntuan politik. Namun Gus Dur menolak karena tidak ingin ada cara-cara militeristik untuk mempertahankan jabatan.

“Tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian.” Begitu ucap Gus Dur.

Menurut analisis Virdika (2020), terdapat 4 kekuatan yang bekerjasama menjatuhkan Gus Dur. (1) Kelompok yang kecewa karena kalah dalam pemilihan presiden. (2) Sisa-sisa Orde Baru yang masih berkuasa. (3) Poros Tengah. Dan (4) TNI yang tak senang dengan supremasi sipil dan pemisahan dengan Polri (penghapusan Dwi Fungsi ABRI).

Pemimpin Transformasional

Transformasinal sendiri memiliki arti tipe pemimpin yang mencoba mengubah dan memotivasi pengikutnya dengan membuat mereka menyadari pentingnya hasil tugas, mendahulukan kepentingan tim dan organisasi, serta mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi, atau istilahnya always to the nex level. Pola transformasional biasanya dipakai oleh pemimpin dengan kharisma tinggi serta mempunyai pengaruh yang optimal terhadap pengikutnya, sehingga motivasi yang diberikan untuk menyelesaikan tugas akan menjadi efektif. Gus Dur sebagai seorang pemimpin yang mempunyai pengaruh dan kharisma yang besar tentunya tidak ingin menyia-nyiakan momentum tersebut, sehingga banyak sekali perubahan-perubahan yang dinilai Gus Dur cukup baik untuk perkembangan bangsa dijadikan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan oleh struktur yang ada di bawahnya. Namun sikap pragmatisme yang sudah menjadi budaya pada bangsa ini menjadi blunder terhadap Gus Dur sendiri. Di satu sisi Gus Dur merasa bahwa apa yang dikatakanya akan menjadi motivasi pada bawahanya untuk melaksanakan tugas, tapi di sisi lain kebencian terhadap Gus Dur semakin meningkat manakala hanya kharismatik personal saja yang ditonjolkan oleh Gus Dur (Abu Naim, 2014).

Dapat dikatakan bahwa Gus Dur merupakan pemimpin yang mampu menjadi penyelaras keseluruhan sistem organisasi negara agar mampu bekerja saling mengisi. Meskipun pada awal kebijakan ini timbul berbagai pro-kontra, namun pada tahap selanjutnya kebijakannya mampu menempatkan posisi masing-masing institusi dalam suatu sistem kenegaraan yang ideal. Misal, kebijakan Gus Dur yang sering me-resuffle kabinetnya tidak lepas dari keinginannya untuk mereformasi demokrasi secepatnya. Sehingga ketika ada indikasi pada susunan kabinet Gus Dur yang melakukan pelanggaran berkaitan dengan korupsi, pelanggaran HAM, dan hal lainya yang kontra terhadap perkembangan demokrasi, maka Gus Dur dengan tegas segera memberhentikan menteri yang berada di bawah komandonya. Meskipun tidak sedikit pihak yang menyebut dirinya sebagai pemimpin otokratik (Abu Naim, 2014).

Ide mengeluarkan dekrit ini juga semakin menegaskan bahwa kepemimpinan yang dijalankan oleh Gus Dur dalam kapasitasnya sebagai seorang presiden sedikit melukiskan bahwa Gus Dur benar-benar teguh pada pendirian. Meskipun dalam sistem presidensil masa jabatan Presiden itu sudah fixed dan tidak bisa dijatuhkan, tapi dunia politik tidak seperti apa yang diinginkan oleh Gus Dur. Lawan politik Gus Dur memanfaatkannya untuk membentuk citra negatif Gus Dur dengan menganggap bahwa keputusan Gus Dur cenderung otoriter dan hanya ingin mempertahankan kekuasaan saja (Abu Naim, 2014).

Menurut Abu Naim (2014) Setidaknya, ada tiga kelemahan Gus Dur yang bisa dijadikan rujukan untuk menganalisa tipe kepemimpinan Gus Dur, diantaranya adalah:

  1. Gus Dur tidak suka pada detail dan teknis dari persoalan, begitu menggariskan sesuatu dia tidak lagi mengurus kelanjutan dan masalah teknisnya.
  2. Gus Dur acapkali menyederhanakan persoalan. Ucapan-ucapannya yang sangat popular, “begitu saja kok repot”, menjadi bukti dari kebiasaanya untuk mudah menyederhanakan dan menganggap enteng masalah. Padahal, banyak masalah yang terlihat enteng dan sederhana tetapi di dalam politik bisa menjadi masalah besar.
  3. Gus Dur tidak suka dilawan dan tidak mau melakukan kompromi jika ia merasakan bahwa kompromi itu merugikan dirinya dalam politik. Padahal kompromi dan pendekatan terhadap lawan merupakan bagian penting di dalam pergulatan politik.

Gus Dur Dalam Berbagai Perspektif

Gus Dur adalah sosok Presiden yang meletakkan dasar bagi berakhirnya peran dwi fungsi ABRI, pengakuan atas hak-hak Tionghoa, warga Papua, Kristen dan minoritas sebagai sesama warga negara Indoesia, melindungi kebebasan pers, meningkatkan harapan akan demokrasi dan menghancurkan kultus presiden super kuat (strong-man presidency) (Greg Barton, 2019).

Gus Dur adalah seorang kiai dari kalangan tradisionalis, ia memiliki “keyakinan” tersendiri dalam mendapatkan informasi. Ia banyak melakukan check and balance terhadap informasi yang diberikan padanya. Saat Gus Dur punya rencana, ia meminta temannya untuk memberikan informasi dan memverifikasinya dangan data lain. Contohnya, ketika Umam diminta mencari informasi tentang kerusuhan Ambon. Setelah melaporkan hasil investigasi, Gus Dur bertanya, “Dimana Kivlan?”. Setelah itu Gus Dur bicara pada media bahwa pelaku kerusuhan Ambon adalah Jenderal K. Tak lama kemudian Kivlan menghadap menyampaikan bahwa dia tidak terlibat. Gus Dur mengatakan bahwa pelakunya bukan Kivlan, tapi Kentot Harseno. Setelah Umam mencari tahu, di kalangan Angkatan Darat banyak yang membenarkan (Virdika Rizky Utama, 2020).

Meskipun Periode Gus Dur tidak dapat mewujudkan demokratisasi total di masyarakat, sebab pemerintahan masih berkutat dengan balas dendam politik. Militer yang semestinya kembali ke barak, tak rela melepaskan kekuatannya dalam politik. Mereka bahkan membentuk organisasi paramiliter untuk menekan Gus Dur. Bisa kita lihat saat ini, meskipun sudah 20 tahun pemakzulan Gus Dur, elit politik masih dipimpin eks Orde Baru, baik sipil maupun militer. Politik kekuasaan hanya sekedar bagi-bagi “kue politik”. Susah kita temukan pejabat publik yang memiliki keberanian mendobrak “kelaziman” yang sebenarnya keliru dalam praktik demokrasi. Dan Gus Dur adalah pelaku sekaligus korban dari praktik politik demokrasi yang keliru tersebut. Pemakzulan Gus Dur merupakan tragedi bagi bangsa yang saat itu tengah diselimuti semangat reformasi memasuki transisi menuju demokrasi (Virdika Rizky Utama, 2020).

Namun, sebagaimana Ignas Kleden (2016) paparkan dalam bukunya “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan”, bahwa gagasan yang dapat diterima luas adalah yang paling siap memenuhi kebutuhan sosial. Tes relevansi pemikiran sosial diuji dengan seberapa luasnya penerimaan untuk mengetahui kebermanfaatannya. Sementara tes relevansi intelektual diuji dari konsistensi dan validitas kebenarannya atau sejauh mana dapat dibenarkan. Dan dapat kita buktikan saat ini, semua pemikiran Gus Dur dan usahanya mereformasi demokrasi Indonesia, rasa-rasanya telah lolos kedua tes relevansi tersebut, sehingga dapat membawa Bangsa Indonesia ke masa demokrasi yang lebih sehat saat ini, meskipun tentunya tidak ada demokrasi sejati yang mampu dilakukan oleh suatu negara dengan sempurna. Tapi setidaknya, demokrasi memang masih menjadi sistem pemerintahan yang ideal bagi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
Barton, Greg. 2019. 20 Tahun Berlalu: Awal Transisi Demokrasi Indonesia dan Konsteks Masa Kepresiden Gus Dur yang Transformasif. Sebuah Prolog dalam Buku Menjerat Gus Dur karya Virdika R. Utama.
Guhron, Rodjil. 2001. Skandal Politik SI MPR RI 2001. Jakarta: Factual Analysis Forum.
Haris, syamsuddin. 1999. Reformasi Setengah Hati. Jakarta: Erlangga.
Hefner, Robert W.. 2001. Civil Islam. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
Huntington, Samuel. 1997. Gelombang Demokratisasi Gelombang Ketiga. Jakarta: Grafiti.
Ismail, Faisal. 2004. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta: Mitra Cendekia
Kleden, Ignas. 2016. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. LP3ES
Kompas. 29 Maret 2001. Jawaban Presiden atas Memorandum DPR.
Lubis, Indra S (ed). Bahaya Tirani DPR: Konflik DPR Vs Presiden. Jakarta: Lembaga Studi Politik Merdeka.
Mulkhan, Abdul M. 2010. Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Naim, Abu. 2014. Tipologi Kepemimpinan Politik Gus Dur. Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam. Volume VI No. 1: 1-20, September 2014.
NU Online. 23 juli 2019. https://www.nu.or.id/post/read/108935/23-juli–saat-presiden-gus-dur-dilengserkan-secara-politis
Rafick, Ishah. 2007. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk.
Republika. 25 Nopember 2000. Jaksa Agung Bantah Ada Deal antara Presiden dengan Tomy.
Schwarz, Adam. 1994. A Nation in Awaiting. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd.
Tempo. 2021. https://nasional.tempo.co/read/1242678/cerita-gus-dur-bendera-bintang-kejora-wiranto-dan-umbul-umbul
Tempo. 7 Nopember 1999. Kabinet Superkompromi.
Tempo. 7 Nopember 1999. Profesionalisme Ala Gus Dur.
Utama, Virdika R. 2020. Menjerat Gus Dur. Jakarta Pusat: PT. Numedia Digital Indonesia.



beras