Disrupsi, Disinformasi, dan Penumpang Gelap Teknologi
Opini—Selain menjadi hewan yang berpikir, manusia adalah hewan yang menggunakan alat. Evolusi teknologi memperlihatkan bahwa teknologi merupakan perpanjangan tubuh manusia, dan akhirnya menjadi perpanjangan imajinasi yang mampu merealisasikan fantasi sebagaimana dikemukakan oleh Jean Baudrillard, dimana lewat tangan teknologi cerdas, segalanya menjadi virtual. Cukup sekali klik, berita dengan cepat digandakan menjadi viral. Namun layaknya mata pisau, teknologi yang menawarkan banyak manfaat, juga dapat melahiran kerugian sebagaimana Gabriel Marcel memaparkan kekhawatirannya bahwa teknologi pada akhirnya hanya akan membuat manusia terasing dari nilai-nilai kemanusiaanya, sehingga teknologi harus diantisipasi efek negatifnya agar tidak menjadi patologi budaya.
Banyak kita saksikan konten negatif merajalela bak hantu sosial dalam ruang maya. Menjamurnya hoax, pornografi, penyalahgunaan konten privat, gangguan mental, hingga isu terorisme menjadi ladang subur di dunia maya. Oknum yang memanfaatkan teknologi melewati batas etis dan norma sosial yang berlaku demi meraup keuntungan pribadi, merekalah penumpang gelap teknologi. Sebut saja kelompok Muslim Cyber Army (MCA) dan sindikat Saracen yang dianggap sebagai produsen spesialis menyebarkan berita hoax. MCA dan Saracen hanyalah dua contoh mesin produksi hoax yang berhasil ditemukan dan dihentikan. Mungkin masih banyak mesin-mesin sejenis yang masih aktif berproduksi di luar sana, apalagi di tahun-tahun politik. Hoax riuh bertebaran di jagad maya tanpa ampun menjegal lawan politik demi suksesi jabatan.
Berdasarkan data Kemkominfo, sepanjang Januari-Juni 2019, total terdapat 2.199 hoax yang tersebar di internet dan media sosial. Kemkominfo telah memblokir ratusan ribu situs website dan akun media sosial mulai dari akun Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, hingga YouTube yang berisi hoax atau konten negatif. Peredaran hoax yang semakin marak memberikan dampak tidak hanya pada stabilitas keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara, namun juga pada tingkat kepercayaan suatu informasi. Semakin banyak hoax disebar, semakin sulit memilah mana informasi yang benar dan mana yang tidak, sehingga terjadilah disinformasi atau penyampaian informasi yang salah dengan sengaja untuk membingungkan orang lain. Hingga disrupsi informasi atau pengubahan informasi dari yang mendasar/fundamental akibat pergeseran dunia nyata ke dunia maya.
Negara Cerewet
Manusia zaman sekarang berubah menjadi organisme virtual, dimana selain menjalani kehidupan nyata pun aktif dalam akun-akun virtual dunia maya. Media sosial menjadi ruang padat percakapan yang selalu ramai oleh komentar warganet. Hal ini terbukti dari laporan CEO twitter pada 2016, bahwa cuitan orang Indonesia di twitter mencapai 4,1 miliar sepanjang tahun. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menjadi negara pengguna twitter teraktif dan termasif. Belum lagi jika digabungkan bersama rilisan jumlah status di Facebook dan Instagram, mungkin Indonesia akan dinobatkan sebagai negara tercerewet di dunia maya.
Masyarakat dengan budaya literasi rendah lebih gandrung pada medsos dalam mencari informasi, alih-alih melakukan verifikasi melalui media massa maisntream yang terpercaya. Meskipun di Indonesia terdapat regulasi UU ITE yang mengatur penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, namun dinilai masih belum optimal. Penerapan kebijakan internet positif selamanya tidak akan berhasil selama penggunanya tidak memiliki kemampuan literasi digital yang baik. Meminjam penjelasan Soegiono, literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi, tapi juga meliputi kemampuan menganalisis, berpikir kritis dan kontrol terhadap penggunaan adiktif internet.
Rekomendasi
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat biasa untuk menanggulangi hoax dan konten negatif lainnya? Pertama, kiranya solusi sederhana yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan budaya literasi yang kritis. Dimulai dari diri sendiri, keluarga dan ditularkan pada lingkungan sekitar hingga efek dominonya terasa pada masyarakat yang lebih luas. Budaya literasi kritis ini tentunya tidak hanya berhenti pada banyak membaca saja, lebih luas harus belajar mencerna informasi secara utuh dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Informasi yang diperoleh dari media sosial jangan langsung dipercaya lalu disebar, tapi lakukan pengecekan ulang pada media mainstream terpercaya. Terkadang hoax tidak sepenuhnya tersusun dari berita bohong, dapat pula berupa siasat elektronik seperti pemotongan foto, teks, hingga audio dan video. Jika sudah terverifikasi dan bisa dibuktikan kebenarannya, barulah kita boleh menyebarnya.
Kedua, penguatan kearifan lokal atau indigenous ideas, sebab bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki karakter kuat. Nilai-nilai kearifan lokal digali dari khazanah budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat setempat dan bukan mencontoh nilai-nilai bangsa lain yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa. Sebagai bangsa yang berbudaya, penguatan kearifan lokal sudah semestinya dilakukan bukan hanya sekedar mempertahankan warisan budaya nenek moyang, lebih dari itu dapat dijadikan pengokohan nasionalisme. Sehingga jika ada berita ataupun informasi yang mampu menyulut perpecahan antar suku, ras, dan agama tidak akan menjadikan kita masyarakat yang bersumbu pendek yang mudah terprovokasi. Sebab masyarakat sudah memiliki pegangan yang kuat berupa nila-nilai kearifan lokal, seperti budaya malu, sopan santun, tata karma pergaulan, gotong-royong, musyawarah mufakat, tenggang rasa dan saling hormat-menghormati. Tentu saja sifat individualis dan hedonis bukanlah budaya lokal bangsa kita.
Mengutip pernyataan Prof. Dr. Nasaruddin Suyuti, kearifan lokal mempunyai ciri khas yakni mampu bertahan dan mengakomodasi budaya luar serta mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. Disamping itu, kearifan lokal mempunyai kemampuan mengendalikan dan memberi arah pada perkembangan budaya. Sehingga, bisnis hoax tidak akan menemukan pangsa pasarnya selama masyarakat masih memegang teguh kearifan lokal, apalagi jika ditambah dengan budaya literasi digital yang baik. Maka hoax dengan segala kepentingan dan kegentingannya yang dibawa, hanya akan ada tanpa makna berarti, akan kehilangan daya viralnya lalu diabaikan warganet. Di sinilah etika teknologi menjadi penting dalam mengimbangi kemajuan zaman.