HISKI Jember Adakan Bedah Film Pendek, Bahas Film Putih Kembali Putih dan Film Ngilo
Berita Baru, Jember – Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Sind FIB UNEJ), Program Studi Televisi dan Film Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (PSTF FIB UNEJ), dan Kelompok Riset Film dan Televisi (KeRis FITSI), usai adakan bedah film pendek dengan tajuk NGONTRAS#6 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-6), Sabtu (22/1/2022).
Dengan tema “Bedah Film Pendek Karya Fajar Aji: (1) Putih Kembali Putih, (2) Ngilo,” webinar yang diselenggarakan via zoom meeting ini mengundang dua pembicara, yakni Sazkia Noor Anggraini, dosen Program Studi Film dan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (PSFT FSMR ISI Yogyakarta), dan Fajar Aji, dosen Program Studi Televisi dan Film, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember (PSTF FIB UNEJ), dengan moderator Soekma Yeni Astuti, anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen PSTF FIB UNEJ, dan pewara Zahratul Umniyyah, anggota HISKI Komisariat Jember sekaligus dosen Sind FIB UNEJ.
Dekan FIB UNEJ yang berhalangan hadir diwakili oleh Wakil Dekan II, Dwi Haryanto. Dalam sambutannya, Dwi memberikan apresiasi terhadap film karya Fajar Aji, baik film Putih Kembali Putih maupun film Ngilo. Dikatakan oleh Dwi bahwa film Putih Kembali Putih dibuat dalam rangka kompetisi FIFGROUP Short Movie Competition tahun 2014 dan meraih juara ke-2.
Lebih lanjut, Dwi menyampaikan bahwa film pendek dengan durasi delapan menit tersebut mengisahkan seorang remaja putri bernama Dina, yang selalu berbekal air putih ketika berangkat sekolah. “Pesan yang bisa diambil dari kisah dalam film ini adalah betapa pentingnya kita senantiasa mengonsumsi air putih atau air mineral. Film yang kedua, yakni Ngilo, memberikan pesan bahwa Pancasila itu tidak cukup untuk dihafalkan, tetapi yang lebih penting adalah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,” sambut Dwi.
Fajar Aji dalam presentasinya menjelaskan proses kreatif memproduksi film Putih Kembali Putih dan fim Ngilo. Film Putih Kembali Putih yang mengisahkan remaja putri jenjang sekolah SMA, bernama Dina, selalu membawa dan mengonsumsi air putih. Namun, kemudian tergiur oleh kebiasaan teman-temannya yang lebih suka mengonsumsi air berwarna (instan atau softdrink). Dalam suatu momen, ketika Dina bertemu dengan anak kecil yang membawa ikan mas dan terjatuh di hadapannya, dirinya mulai menyadari betapa pentingnya air putih (bersih) bagi kehidupan. “Jadi, film ini berpesan tentang esensi masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Salah satunya adalah kebiasaan mengonsumsi air putih,” jelas Fajar.
Sementara itu, dalam film Ngilo, Fajar menjelaskan bahwa film ini mengisahkan obrolan di warung makan saat ada kegiatan gotong royong perbaikan rumah warga, yakni rumah Pak Warto. Lebih lanjut, bahwa pagi itu Hendro membelikan gorengan dan minuman di warung Maria untuk membantu acara gotong royong tersebut. Pada waktu yang bersamaan ada tiga siswa SMA mampir ke warung Maria setelah pulang sekolah. Pertemuan Hendro dan tiga siswa SMA tersebut menghasilkan obrolan hasil respons video kuis Pak Jokowi di Youtube hingga Pancasila. Gambaran Pancasila yang menunjukkan dalam perilaku bermasyarakat, bukan dalam hafalan. “Jadi, kembali mengamalkan Pancasila itu yang lebih penting. Bukan hanya dalam hafalan saja. Kembali mengamalkan itulah yang saya capture dalam film ini,” kata Fajar.
Pembicara kedua, Sazkia Noor Anggraini, dalam presentasinya memaparkan apresiasinya terhadap kedua film pendek karya Fajar Aji. Dijelaskannya bahwa dalam mengkaji film dapat dilakukan dengan objek film sebagai film atau karya seni, dan film sebagai objek dalam relasi dengan ilmu lain, misalnya ekranisasi, semiotik, analisis wacana, ideologi, politik, gender, dan lain sebagainya. “Film sebagai film atau sebagai karya seni, tidak hanya terkait dengan pembuatan saja, tetapi juga terkait dengan kreativitas, teknologi, dan bisnis,” jelas Sazkia yang lebih akrab dipanggil Anggi.
Sazkia atau Anggi menjelaskan bahwa di dalam film Putih Kembali Putih hubungan antara form and feeling dibedakan menjadi dua, yakni representasi emosi dalam film dan respons emosi dari penonton. Representasi emosi dalam film di antaranya tercermin pada scene ketika muncul kontras, yakni Dina membuang-buang air putih, pada saat yang sama, si anak kecil kehilangan air putih yang tumpah dari wadah ikan sebagai sumber kehidupan. Respons emosi dari penonton tercermin dalam scene ketika ikan mas berjatuhan ke tanah bersama tumpahnya air dari wadah sehingga ikannya berkelejotan hampir mati. “Saya mengapresiasi film ini, yang telah mampu membangun feeling. Film ini mampu mengekspresikan rasa lewat gambar dan suara,” kata Anggi.
Anggi juga menjelaskan bahwa film harus memiliki form and meaning atau bentuk dan makna. Makna yang dimaksud di antaranya makna referensial, makna eksplisit, makna implisit, dan makna simptomatik. Hal ini terdapat di dalam film Ngilo yang berlatar tempat di sebuah warung sederhana.
Dalam penjelasan Anggi, makna referensial pada film Ngilo muncul dalam scene ketika tokoh siswa SMA menonton video terkait pertanyaan Jokowi tentang nama-nama ikan. Makna eksplisit muncul dalam scene ketika tokoh lelaki di warung yang dianggap menggoda Mar dijemput oleh temannya. Makna implisit terdapat dalam scene ketika Mar bercermin (ngilo) sembari melafalkan sila-sila dalam Pancasila. Makna simptomatik terefleksi pada buku catatan uang pengeluaran Mar, yang ternyata sampulnya bertuliskan ‘Saya Indonesia, Saya Pancasila’. “Makna simptomatik ini terkait dengan ideologi, atau makna lapis kedua. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari makna implisit, yakni bercermin atau ngilo pada nilai-nilai Pancasila,” tandas Anggi.
Keterangan yang disampaikan menjelang dimulainya acara, Dr. Heru S.P. Saputra, Ketua HISKI Komisariat Jember, yang juga dosen FIB UNEJ, mengungkapkan bahwa NGONTRAS#6 memilih bedah film agar publik mendapat pembelajaran dalam memahami makna film. “Semoga forum NGONTRAS#6 mampu meningkatkan kualitas apresiasi kita terhadap film,” kata Heru.
Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara audiens dan pembicara hingga acara berakhir.