Jurnal Arif Kembali Gelar Workshop ke-7, Bahas Strategi Tembus Jurnal Terindeks Scopus
Berita Baru, Jakarta – Jurnal Arif FBS Universitas Negeri Jakarta bekerja sama dengan HISKI UNJ kembali adakan pertemuan diskusi tim 5 dengan tajuk Workshop ke-7 “Publikasi Menembus Jurnal Terindeks Scopus” putaran satu pada hari Sabtu, (16/07) Via Zoom Meeting.
Workshop tersebut adalah tindaklanjut dari acara yang sebelumnya yang diadakan Jurnal Arif dengan tema yang senada. Kegiatan diselenggarakan setiap dua minggu sekali ini telah berlangsung 7 kali.
Dalam pengantarnya, Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum., sebagai koordinator, menjelaskan bahwa workshop atau Bincang Arif ini bermaksud memberikan kesempatan para penulis saling menimba ilmu, pengalaman menulis, dan pengalaman memublikasi artikel di jurnal internasional bereputasi.
Novi juga menambahkan bahwa kali ini artikel yang dipaparkan bertema kelokalan, transformasi tradisi lisan ke sastra modern, seni pertunjukan, tradisi lisan, sudi naskah, dan sastra modern. “Terima kasih atas kesediaan dan kesetiaan Ibu-Bapak mengikuti kegiatan Bincang Arif yang menjadi milik kita bersama sebagai ajang untuk berproses bersama menghasilkan publikasi,” ucapnya.
Ada 5 pemakalah yang hadir dalam workshop kali ini, yaitu Dr. Fakhriati, M.A (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Dr. Sri Musdikawati, M.Si (Universitas Al Asyariah Mandar), Dr. Maria Matildis Banda, M.S (Universitas Udayana), Dr Thera Widyastuti, M.Hum (Universitas Indonesia) dan Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum (Universitas Diponegoro) dengan pembawa acara Dr. Ari Ambarwati, M.Pd. dan moderator Sudartomo Macaryus, M.Hum.
Pemakalah pertama, Maria Matildis Banda dengan judul artikel “Jalan Tikus Menembus Perbatasan: Representasi Kearifan Lokal Indonesia dan Timor Leste dalam Karya Sastra”. Maria mengatakan bahwa data utama adalah struktur estetika sastra dalam novel Vittoria Helena’s Brown Box (2015) karya Viera dan Soeriapoetra dan novel Orang-Orang Oetimu (2019) karya Nesi.
“Dua novel Indonesia dengan latar Pulau Timor ini sama-sama menggunakan konsep kearifan lokal “jalan tikus” dalam melakukan perlawanan atas sejarah kelam dari warga Timor selama proses penjajahan dan kemerdekaan Timor Leste dalam rentang waktu 1970-an – 1990-an,” jelasnya.
Dilanjut ke pemakalah ke dua, Fakhriati mempresentasikan artikel dengan judul “Turki dalam Perspektif Orang Aceh: Kajian atas Naskah Lokal Aceh”. Ia mengatakan bahwa naskah kuno adalah warisan bangsa yang sudah lapuk dan rusak. Akan tetapi, di balik kelapukannya tersimpan beragam pengetahuan lokal yang dapat menyambung kehidupan masa lalu dengan masa sekarang. Naskah kuno menjadi penting dalam hal pemetaan keilmuan yang ditulis oleh para leluhur.
“Naskah Hikayat Eseutamu merupakan salah satu naskah lokal dari Aceh yang menyimpan informasi global, karena mengandung pengetahuan sejarah antara dua bangsa, yaitu Aceh dan Turki, “ jelasnya.
Tulisan ini didasarkan pada metode analisis isi naskah dengan menggunakan pendekatan filologi dan sejarah untuk mengungkapkan pesan yang tersimpan dalam naskah. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan erat antara Turki dengan Aceh pada masa lalu sampai pada level hubungan negara dengan rakyatnya.
“Naskah NHE menunjukkan bahwa orang Aceh menaruh perhatian besar terhadap keberhasilan Turki Usmani dalam mengendalikan negara dan memimpin rakyatnya,” ujarnya.
Pemateri ketiga, Musdikawati, membahas “Festival Tradisi Lisan Saiyang Pattuqduq dalam Masyarakat Mandar: Pendekatan Sastra Pariwisata”. Ia menjelaskan bahwa Saiyang Pattuqduq adalah salah satu tradisi lisan pada masyarakat Mandar yang sangat menarik untuk ditonton.
Pertunjukan sastra lisan saiyyang pattuqduq memiliki daya tarik dan berpotensi menghadirkan wisatawan untuk menyaksikannya. Pertunjukan memanfaatkan kuda uang terlatih sebagai medianya.
Selain itu, pergelaran juga memanfaatkan beberapa sumber daya manusia untuk terlibat dalam kegiatan ini. “Tradisi lisan saiyang pattuqduq ini telah dilakukan turun-temurun selama beberapa abad, menjadi wadah pendidikan, dan mempunyai daya tarik tersendiri yang berpotensi menyedot banyak penonton,” tuturnya.
Pemakalah keempat, Widyastuti mempresentasikan artikel dengan judul “Memaknai Cinta Antarmanusia dalam Karya Laksmi Pamuntjak”. Ia mengatakan, cinta sering dijadikan tema dalam karya sastra. Perwujudan perasaan cinta yang dialami masing-masing tokoh berbeda-beda.
“Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan teori cinta oleh Erich Fromm dan psikologi sastra oleh Jacques Lacan,” jelasnya.
Amba dan Srikandi sebagai tokoh yang menjalin relasi dengan laki-laki Indonesia dan Jerman yang memiliki pola ekspresi cinta yang universal akan tetapi juga yang cenderung kontekstual.
Pemateri terakhir, Sukarjo memaparkan artikelnya yang berjudul “Sunan Kudus vs Sunan Kalijaga dalam Pementasan Ketoprak Mataraman: Representasi Kuasa “Botoh” dalam Politik Jawa”
Dalam pandangan seniman dan secara teoretis, kethoprak bisa digolongkan dalam dua jenis dengan alasan geografis dan karakteristik pementasan. Pertama, kethoprak Pati yang juga disebut sebagai kethoprak pesisir. Jenis ini berkembang di bagian utara wilayah Provinsi Jawa Tengah, seperti Pati, Kudus, Rembang, Blora, dan Jepara.
Kedua, ketoprak Solo-Jogja yang disebut juga sebagai ketoprak Mataraman. Jenis ini berkembang di bagian selatan wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan Kota Jogja dan Solo sebagai pusatnya. “Dari kedua jenis tersebut ada beberapa perbedaan yang tampak dalam tokoh, persepsi tentang tokoh tertentu, cerita dalam pementasan, dan pesan yang disampaikan,” paparnya.
Selesai paparan dilanjutkan dengan diskusi interaktif untuk menghimpun masukan dan respons peserta yang hadir. Pertanyaan dan masukan kritis dari para peserta dapat direspon dengan baik oleh para pembicara dan menjadi masukan yang inspiratif bagi pembicara dan peserta untuk meningkatkan kualitas artikel yang ditulis oleh masing-masing pembicara. Sampai akhir diskusi, ada 40 audience penulis yang setia mengikuti diskusi sampai selesai.