Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kadaulatan Lingkungan Hidup dalam Diskursus Ekoliterasi: Sebuah Kritik Atas Nalar Kapitalisme
Muhammad Riyadi (Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jember periode 2022-2023)

Kadaulatan Lingkungan Hidup dalam Diskursus Ekoliterasi: Sebuah Kritik Atas Nalar Kapitalisme



oleh: Muhammad Riyadi


KEDAULATAN lingkungan hidup tidak lagi menjadi pembahasan serius. Diskursus lingkungan hidup termarjinalkan dari perhatian dan menjadikan kesejahteraan lingkungan urusan nomor sekian. 

Kasuistik ekploistasi lingkungan hidup lumrah terjadi dibeberapa daerah di indonesia. Hal ini disebabkan oleh paradigma industrialisasi kapitalisme yang masuk dalam elit pemerintahan. Kapitalisme dan anak-kandungnya memandang alam suatu objek yang bisa dimanfaatkan sebebasnya, dan mengesampingkan dampak buruk terhadap alam itu sendiri.

Fakta perusakan lingkungan akibat ekploitasi alam banyak dilakukan pemerintahan. Beberapa tahun lalu, kita dihadapkan dengan peristiwa pengeboran misak bumi oleh PT Lapindo di Borong Sidoarjo. Kesalahan pengeboran mengakibatkan semburan lumpur panas, merusak lingkungan hidup, dan meresahkan penduduk setempat. Atau fenomena yang belakangan terjadi di pulau rempang, proyek Rempang Eco City menjadi kawasan industri. Lantas mengancam eksistensi masyarakat adat, sehingga menuai konflik antara petugas pemerintah dan penduduk Rempang.

Konflik agraria lain yang terjadi di Tumpang Pitu Banyuwangi. Tumpang Pitu daerah ekpoitasi yang mengandung jenis batuan emas, perak dan tembaga. PT BSI merupakan perusahaan yang mengekplorasi daerah potensial tersebut. Pada akhirnya, tidak bisa dipungkiri praktek ekploitasi tambang emas, perak, dan tembaga ini berdampak merusak lingkungan.

Kegagalan nalar Kapitalisme

Gagasan Adam Smith tentang pengembangan kesejahteraan masyarakat berdasar spirit pemenuhan kebutuhan subjektif manusia, banyak disalah gunakan. Mengapa demikian? Pertama, praktek berocok tanam (pertanian-perkebunan) tanpa mempertimbankan alam. Kedua, industrialisasi yang menafikan kesejaterahkan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup.

Distribusi kapitalisme pada bangkitnya kreativitas pemenuhan ekonomi memang tidak ternafikan, disatu sisi. Namun disisi lain, kapitalisme sebenarnya telah mengganggu relasi harmoni manusia dengan alam. Demikian pula anomali yang terjadi di kawasan ektraktif tambang dan industrialisasi. Praktek macam ini melupakan kondisi alam. Padahal alam merupakan indikator basis instrumen pencapaian kemakmuran manusia.

Kapitalisme melahirkan era industri. Ekploitasi alam secara membabi buta disupport kecanggihan alat produksi. Alam dianggap sebagai sumberdaya yang melimpah, dan manusia bebas memperdayakan alam. 

Hasilnya berdampak buruk pada geografis. Kerusakan alam mulai dari rusaknya hutan, air keruh, hingga udara tercemar bukan urusan penting. Yang penting, memuaskan hasrat berlebih manusia.

Paradigma ini digunakan oleh pemerintah dalam memandang alam. Pada akhirnya merusak alam dan lingkungan hidup. Seperti yang terjadi di Borong Sidoarjo, proyek Eco City Pulau Rempang, dan tambang Tumpang Pitu. Dalam teori ekoliterasi Capra, paradigma macam ini sudah mengalami kemunduran beratus tahun lalu. Capra dengan karyanya “The Web of Life: A New Understanding of Living Systems” mengkritik habis-habisan paradigma kapitalisme.

Ekoliterasi dan Kedaulatan Agraria

Ekoliterasi adalah istilah baru yang dikenalkan oleh Fritjof Capra di Berkeley Califonia sana. Teori ekoliterasi dibahas secara gamblang dalam buku The Web of Life: A New Understanding of Living Systems karya Fritjof Capra. Ekoliterasi merupakan kesadaran tertinggi manusia tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup. Merawat alam serta isinya agar lingkungan dapat hidup berkelanjutan. Ekoliterasi artinya keadaan ketika seseorang telah sadar tentang pentingnya lingkungan hidup.

Pada dasarnya ecological literacy merupakan kritik terhadap nalar kapitalisme. Nalar kapitalisme yang memandang alam sebagai objek yang bisa dimanfaatkan sesuka hati manusia adalah pandangan yang salah. Capra mengkritik paradigma lama sebelumnya, ia mengatakan bahwa paradigma tersebut telah mengalami kemunduran ratusan tahun. Kesalahan paradigma mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Ekoliterasi Capra memandang keholistikan dunia. Artinya dunia tidak ditafsirkan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Baik manusia, mahkluk hidup, maupun lingkungan merupakan satu-kesatuan yang tidak boleh dipisah. Alam harus diposisikan sebagai subjek, bukan objek. Alam posisinya setara dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kerusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh kesalahan memandang alam sebagai objek. Sehingga alam diekploitasi dengan sewenang-wenang.

Capra lebih lanjut mempunyai istilah deep ecology. Penulis mengartikan istilah ini sebagai ekologi secara mendalam. Deep ecology sama sekali tidak memisahkan manusia dari lingkungan alamnya. Pandangan ini tidak memandang dunia sebagai kumpulan objek yang terisolasi, melainkan suatu yang saling terelasi serta saling bergantung. Ekologi mendalam membenarkan nilai intrinsik semua makhluk hidup dan manusia hanya sebagai satu bagian dalam ekosistem.

Secara spesifik Capra menemukan solusi atas anomali kerusakan alam. Pertama, harus dimulai dari merubah pola pikir dan pola prilaku (manhajul fikr wal harokah). Hal ini bisa merangkai ekosistem kehidupan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik belajar menghormati alam. Bukan malah mengeksploitasi alam tanpa pertimbangan ekoliterasi. Keberhasilan prinsip ini tergantung pada kesadaran manusia wabil khusus pemerintah.

Kedua, bisnis dan industrialisasi menghasilkan limbah secara besar dan mencemari lingkungan. Maka solusinya harus ada pendauran ulang limbah dengan rinsip dasar eco desaint. Yakni memandang “limbah sama dengan makanan”. Artinya limbah harus dimanfaatkan sebagai makanan bagi kehidupan lainnya. Limbah dipergunakan sebagai bahan baku pada proses produksi lainnya. Sehingga tidak ada limbah yang terbuang sia-sia, semua limbah bermanfaat. Industrialisasi dan bisnis harus dirancang ulang dengan menggunakan dua prinsip ini.

Melihat fenomena deskriminasi terhadap lingkungan hidup yang belakangan sering terjadi dibeberapa daerah, menandakan keterbelakangan. Hal mencerminkan indonesia masih menggunakan paradigma lama dalam memandang alam seperti yang sisebut Capra. Sudah saatnya dan semestinya pemerintah mereforma paradigmanya dalam memandang lingkungan hidup. Hal ini bisa dimulai dari membuat aturan secara mendasar tentang lingkungan hidup. Lingkungan hidup harus diposisikan sebagai subjek yang setara dengan manusia dan makhluk lainnya.

beras