Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

wisata
Foto: Area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang akan dibangun wisata buatan. (Dok. Walhi Jatim)

Ketika Wisata Mengundang Bencana



Berita Baru Jatim, Surabaya – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur angkat bicara terkait pembangunan wisata alam di Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) lebih tepatnya di kawasan Jemplang, Ngadas, Malang.

Wahyu Eka Setyawan, Manajer Kampanye Walhi Jatim mengatakan pihak TNBTS sangat berisiko jika cara memandangnya wilayah ekonomi saja dan akan berbahaya keberlanjutan pengelola.

“Meski TNBTS menyebutkan zona pemanfaatan terbagi menjadi dua yakni ruang usaha dan publik, lalu secara regulasi dipenuhi. Tetapi persoalan TNBTS ini menjadi sangat riskan jika cara pandang pihak mereka paradigmanya sangat ekonomistis, ini berbahaya bagi keberlanjutan TNBTS itu sendiri,” jelas Wahyu kepada Beritabaru.co, Senin (13/9).

Lebih lanjut, Wahyu menyebutkan ide wisata itu datangnya dari kawasan strategis nasional yang berambisi pembangunan namun bukan wisata buatan atau memunculkan resiko kepada lingkungan.

“Karena ide wisata ini kan berangkatnya dari penetapan kawasan strategis pariwisata nasional yang ambisius mendorong 10 Bali baru. Tidak apa-apa membangun pariwisata, tetapi bukan wisata buatan atau menekankan pada betonisasi atau memunculkan resiko lingkungan, seperti jembatan kaca, glamping dan aneka pembangunan yang menekankan pada pengubahan kawasan,” ungkap Wahyu.

Wahyu mengatakan walau daerah itu masuk zona pemanfaatan akan tetapi tidak mengubah topografi wilayah harus dipegang dan konsepnya seharusnya menekankan perlindungan kawasan dan lokalitas.

“Meski 10% dan masuk di zona pemanfaatan tetapi kaidah tidak mengubah topografi wilayah harus dipegang, selain itu juga konsep wisata harus menekankan pada perlindungan kawasan dan lokalitas,” jelasnya.

“Karena namanya kawasan konservasi itu benar-benar harus dijaga. Selain itu rencana pembangunan fasilitas wisata tersebut mengancam kutugan atau situs sakral masyarakat Tengger, meski dikatakan berjarak,” tambah Wahyu.

Ketika itu direalisasikan, kata Wahyu, akan mengancam keberadaan situs tersebut dan ide wisatawan massal juga akan mendorong pola sama untuk mengadakan pembangunan tambahan dan kawasan itu didorong maka akan menjadi rentan.

“Tetapi jika direalisasikan apalagi mengundang banyak orang, maka itu akan mengancam keberadaan situs tersebut. Selain itu juga ide wisatawan massal juga akan mendorong pola serupa di kawasan tersebut yakni pembangunan tambahan serta mendorong kawasan tersebut menjadi rentan. Rentan dalam arti kawasan konservasi yang seharusnya dijaga betul, tiba-tiba didorong menjadi kawasan yang ekonomi, jelas bertentangan,” ujarnya.

Wahyu menambahkan merujuk dari peraturan terbaru Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 4 Tahun 2021 pemanfaat kawasan terutama pada wisata wajib memiliki Amdal dan wajib melakukan pemetaan dan kajian wilayah terbuka.

“Di mana melibatkan masyarakat secara inklusif, terbuka dan tidak tertutup. Mereka membangun begitu saja tanpa ada pembahasan sebelumnya dan terbatas, seperti Amdal kami belum tahu dan kajiannya seperti apa kita belum mengerti,” jelas Wahyu.

Kembali ke prinsip awal Taman Nasional, tambah Wahyu, ada untuk pelestarian dan ekonomi itu bonus, tetapi ekonomi berbasis lingkungan dan masyarakat.

“Sebab kebijakan selama ini tidak pernah berangkat dari masyarakat terutama masyarakat adat, hanya dari atas ke bawah. Jadi meski, secara aturan sesuai tetapi secara etika lingkungan dan paradigma berkelanjutan sangat bertentangan ide tersebut,” pungkasnya.

beras