Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Oase Discourse: Teologi Pembebasan Perspektif Al-Qur'an

Oase Discourse: Teologi Pembebasan Perspektif Al-Qur’an



Berita Baru Jatim, Jember — Oase Discourse kembali menggelar kelas diskusi, kali ini mengangkat tema “Teologi Pembebasan Perspektif Al-Qur’an”, Kamis (16/11) malam yang berlangsung di Oase kopi dan literasi, Jember, Jawa Timur.

Diskusi tersebut mendatangkan dua pembicara, yaitu Gus Abdulloh Hamid, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus Co-founder Pesantren.id dan Gus Achmad Dhofir Zuhri, rektor Sekolah Tinggi Filsafat Alfarabi Malang sekaligus penulis buku Kondom Gergaji dan Peradaban Sarung.

“Teologi pembebasan, apabila pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan kemanusiaan, politik, penjajahan. Sebenarnya pesan ini ada di setiap agama. Namun pada kesempatan kali ini saya akan berbicara tentang teologi pembebasan perspektif Al-Qur’an,” kata Gus Dhofir Zuhri.

Menurutnya dalam setiap emperium atau daulah pasti terdapat yang namanya kolonialisme, setiap perkembangan peradaban zaman pasti ada utusan yang akan memperjuangkan kaum mustadh’afin melawan mustakbirin, membela masyarakat lemah/tertindas/proletar, melawan borjuasi/korporasi/kapitalisasi.

Berbicara Indonesia hari ini, lihatlah akademisi, birokrasi, dan korporasi. Apakah mereka melakukan pemalsuan?, lihatlah realitas dan buatlah riset tentang 3 persoalan sumberdaya alam, semberdaya manusia dan sumber ideologi yang membawa terhadap kehancuran.

Mari kita uji dengan 3 perjanjian. Pertama, Perjanjian Demarkasi. Kedua, Perjanjian Tordesilllas. Dan tiga, Perjanjian Saragosa yang membelah dunia menjadi dua. Antara barat dan timur–selanjutnya berbicara tentang misi kolonialisme, Gold/ekspansi ekonomi, Glory/ekspansi politik, dan Gospel/ ekspansi agama.

Gus Dhofir menerangkan. “Dahulu, agama islam ditolak bukan karena ajarannya, tetapi islam ditolak karena dikuatirkan merubah sistem ekonomi, politik dan kebudayaan yang berlaku saat itu (imperialisme) sebab dalam teologinya terdapat spirit liberal kebebasan. Hal ini bisa kita fahami dari substansi teologi islam paling dasar, yaitu kalimat tauhid  “La Ilaha illallah ” lafadz sakral yang di dalamnya terdapat negasi sekaligus afirmasi. Di sana ada dua kebebasan: satu, kebebasan mengakui, dua kebebasan berpendapat dalam bentuk penegasan,” paparnya.

Gus Dhofir menyambung “Bahwa di dunia ini tidak ada yang murni bisa dikatakan kebebasan, karena setiap ada masyarakat dan kebudayaan, maka di sana akan ada kode etik dan konsensus yang berlaku,” sambungnya.

Lebih mendalam Gus Dhofir, sedikit mendedah surat An-Nissa “Ati’ullaha wa ati’ur rasul wa ulil amri minkum” bahasa “Ati’ullah dan Ati’ur rasul ” itu mutlak harus ditaati, namun bahasa “Ulil Amri” tidak mutlak untuk ditaati, harus dikritisi terlebih dahulu sebelum menaatinya” pungkasnya.

Sementara menurut pendapat Gus Hamid, “kebebasan diartikan sebagai upacara merayakan dengan bahagia keterbatasan-keterbatasan yang ada. Kita bebas memilih, tapi kita tidak pernah bisa lepas dari konsekuensi logis serta akibat dari pilihan kita sendiri,” ujarnya.

Beliau juga menambahkan “Ilmu pengetahuan tidak berkelamin dan tidak beragama. Maka dari itu, baca dan belajarlah mengenai apa saja. Kita bisa menjahit konsep Marxis dengan ajaran islam untuk mendapat sintesis apa yang disebut sebagai teologi pembebasan,” pungkasnya.

Menurut Agus Sholeh, salah satu tim penyelenggara diskusi, motif kelas diskusi kali ini adalah “Ingin menjadikan diskusi sebagai kebiasaan keseharian sebagai ikhtiar membangun sumber daya manusia yang terbuka terhadap pemikiran, agar lingkungan dan atmosfer akademis di Jember tidak terjangkiti ataupun terindikasi penyakit pragmatisme yang jauh dari semangat nilai-nilai intelektual”. Ungkapnya. (Rizal)

beras