Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Asfinawati, Ketua YLBHI dalam Podcat PERSPEKTIF bertajuk "Pandemi dan Ketidakpastian Hukum", pada Kamis (5/4) malam.
Asfinawati, Ketua YLBHI dalam Podcast PERSPEKTIF bertajuk “Pandemi dan Ketidakpastian Hukum”, pada Kamis (5/8) malam.

Asfinawati: PPKM Tidak Ada Cantolan Hukumnya Sama Sekali



Berita Baru, Jakarta – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dalam paparanya, ia menyampaikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau (PPKM) darurat atau PPKM Level 4 tidak memiliki dasar hukum.

Asfina menjelaskan di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan hanya menyebutkan karantina wilayah, karantina rumah sakit, karantina rumah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.

“Cuma itu. Jadi PPKM ini sebetulnya tidak ada cantolan hukumnya sama sekali ke dalam undang-undang,” kata Asfinawati dalam program Podcast PERSPEKTIF bertajuk “Pandemi dan Ketidakpastian Hukum”, pada Kamis (5/8) malam.

Peraturan Pemerintah atau PP No. 21 tahun 2020 tentang PSBB pemerintah mengacu pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Lanjut Asfinawati mempertayakan PPKM mengacu pada Undang-undang yang mana.

“Pertanyaanya PPKM ini mengacuh pada undang-undang yang mana tidak ada padahal dia membatasi hak asasi manusia. Tentu saja masalah kesehatan masyarakat itu menjadi alasan untuk membatasi hak orang itu betul tapi masalahnya konstitusi kita mengatakan pembatasan itu Undang-Undang. Kalau Undang-Undang wabah tidak ada dan di dalam UU No. 6 Tahun 2018 tadi tidak ada itu PPKM,” terangnya.

Pembatasan hak asasi manusia itu justice dengan alasan kesehatan publik namun pertanyaanya bagaimana dibatasinya dan kalau soal undang-undang, ungkapnya.

Kemudian, Asfina menyebutkan Undang-Undang itu diatur dengan sangat umum dan mempunyai naskah akademis. Salah satu yang dipakai Undang-Undang No. 6 adalah International Half Regulation yang merupakan aturan nasional yang disepakati dunia soal masalah adanya virus.

“Karena betul sekali kata Cak Thoriq kalau satu wilayah atau satu negara saja bandel tidak beres itu akan berpengaruh pada yang lain contohnya India datang ke Indonesia, Indonesia tidak membatasi kekarantinaan di perbatasan masuklah varian Delta ke Indonesia,” ujarnya.

Pemerintah tidak memakai Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “Padahal apa yang sudah dilakukan sekarang yang ingin membatasi perbatasan itu sudah ada namanya karantina wilayah termasuk di pintu masuk terus pembatasan aktivitas itu PSBB semua sudah ada pembatasan di rumah itu karantina di rumah, di rumah sakit kenapa tidak pakai itu,” imbuh Asfina.

Menurutnya, sederhana jawabannya karena Undang- Undang No. 6 Tahun 2018 mengatakan begitu ada karantina wilayah kebutuhan dasar makanan hewan ternak ditanggung pemerintah pusat.

“Jadi persoalanya sederhana itu kalau kita mengharapkan gotong-royong secara jujur apakah pejabat publik di tingkat pusat mau merelakan penghasilannya berkurang. Seperti PKL atau seperti pedangang sayur, kripik yang untungnya cuma Rp 1000 dan itu harus berkurang karena tidak ada yang mampu beli keripik, lebih baik beli yang lain,” imbuhnya.

Hal yang mendasar menurut Asfina ada persoalan kesadaran publik masih banyak orang yang tidak percaya, tidak mau dibatasi. Tetapi juga ada orang yang terpaksa bertemu banyak orang untuk mencari nafkah.

“Banyak sekali orang yang bilang bukannya saya gak mau di rumah tetapi kalau saya tidak kerja saya mati juga karena tidak cukup cuma dikasih beras, sarden, dan sardenya busuk karena itu korupsi bansos ada seorang ibu dia buka sardenya bau dikasih ke kucing buang-buang air jadi kalau dikasih ke kucing saja begitu bagaimana kalau manusia”.

Persoalanya sederhana tapi penyelesaianya sangat berat karena sudah menyebar, jika pembatasan itu ketat dan tidak berpindah-pindah maka bisa menyelamatkan beberapa wilayah jadi tidak semua Indonesia itu terjangkit virus dan pulih.

Asfina mencontohkan di negara lain yang berhasil menekan penyebaran virus corona. “Kita bisa lihat negara-negara seperti Autralia itu sudah keluar tanpa masker begitu ada kasus lagi pakai masker lagi dan kasus itu bisa dihitung jari puluhan bukan kaya kita ribuan,” ungkapnya.

“Kalau saya melihat sebagian besar persoalan ini ada di pemerintah pusat dan itu terutama di awal-awal dan sampai sekarang,”pungkasnya.

beras