Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Jumlah Nelayan Turun akibat Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif
(Dok. Foto: Kumparan.com)

Jumlah Nelayan Turun akibat Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif



Berita Baru, Jakarta – Saban tahun setiap 6 April Hari Nelayan terus diperingati dengan pelbagai kegiatan. Namun jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir. Dilansir dari rilis pers Walhi Nasional, sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021. Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2.16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.  

Dalam catatan Walhi itu, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong oleh dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Terkait dengan krisis iklim, nelayan di berbagai wilayah di Indonesia sangat terdampak karena aktivitas menangkap ikan di laut sangat mengandalkan cuaca yang bersahabat.

“Jika cuaca di laut tidak bersahabat, maka nelayan tidak bisa pergi melaut. Selain itu, krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi akibat krisis iklim. Kondisi ini memaksa nelayan untuk tidak melaut,” ucap Parid Ridwanuddin, dalam keterangan tertulis.

Akibat krisis iklim, Parid mendedahkan, nelayan di Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan dalam satu tahun. Hal ini memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia. Kondisi inilah yang memaksa nelayan di Indonesia beralih profesi. Krisis iklim juga telah menyebabkan kematian nelayan di perairan Indonesia terus meningkat.

“Walhi mencatat pada tahun 2020, jumlah nelayan yang meninggal di laut tercatat sebanyak 251 orang. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang jumlahnya hanya 86 orang.”

Ancaman krisis iklim ini akan semakin memperburuk kondisi nelayan di masa depan. Bedasarkan laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit pada 28 Februari 2022, krisis iklim dilaporkan akan memperparah peningkatan suhu dan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis serta akan mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen.

“Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada tahun 2030 dan pada tahun 2050, 95 persen akan mencapai kategori level ancaman tertinggi, berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang,” ungkapnya.

Ancaman Industri Ekstraktif  

Di samping problem krisis iklim, ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil turut memperparah kondisi nelayan di Indonesia. Di wilayah pesisir, nelayan harus berhadapan dengan ekspansi proyek reklamasi dan pertambangan di Indonesia. Catatan Walhi menyebutkan sebanyak 747.363 keluarga nelayan di Indonesia terdampak oleh proyek reklamasi. Sebagaimana diketahui, proyek reklamasi akan terus digencarkan oleh Pemerintah Indonesia. Hinggan tahun 2040, tercatat reklamasi akan dilakukan seluas 2.698.734,04 hektar. Di tahun 2020 seluas angka 79.348 hektar.

Tak hanya reklamasi, ekspansi proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya, terus mengancam. Selain itu, sebanyak 6081 desa pesisir kawasan perairannya telah tercemari limbah pertambangan. Sampai dengan tahun 2040, pemerintah telah merancanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektar.

Penangkapan ikan terukur

Salah satu industri ekstraktif yang kini didorong oleh pemerintah Indonesia, kata Parid, yakni kebijakan penangkapan ikan terukur. Menurut Parid, kebijakan ini merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Inkonstitusional Bersyarat.

“Melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, Pemerintah Indonesia akan memberikan konsesi kepada sejumlah korporasi besar untuk menangkap ikan berdasarkan kuota di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dengan sistem kontrak selama jangka waktu tertentu,” ungkapnya.

Ia menjelaskan dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa sebab 66,6 persen kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95% persen. Parid menilai kebijakan ini akan mendorong persaingan bebas antara nelayan dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. “Penangkapan ikan terukur adalah karpet merah yang diberikan kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya ikan.”

Bagi Parid kebijakan penangkapan ikan terukur merupakan bentuk privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan di Indonesia yang meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya. Kebijakan ini kian membuat jumlah nelayan makin turun. Padahal, kata Parid, nelayan berjasa bagi penyediaan pangan di Indonesia.

“Nelayan adalah pahlawan protein bangsa yang berjasa mengantarkan ikan dari laut ke meja makan kita. Namun, keberadaannya terus terancam,” tegas Parid.

Melihat permasalahan nelayan itu, Walhi mendesak beberapa hal ke pemerintah.

Pertama, Meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi berbagai izin usaha di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang terbukti merugikan nelayan di Indonesia. 
 
Kedua, Meminta pemerintah untuk menghentikan berbagai upaya liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia. 

Ketiga, Mendesak Pemerintah untuk segera menyusun aturan turunan dari UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang memandatkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional dari ancaman krisis iklim.

beras