Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Muhammad Ichwan, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
(Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Muhammad Ichwan)

KLHK Ambil Alih Lahan Perhutani, JPIK: Tiga Hal Penting Diperhatikan



Berita Baru, Jakarta – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan resmi meneken Surat Keputusan (SK) 287/2022 tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). KLHK akan mengambil alih 1,1 juta Ha hutan di Jawa dari Perum Perhutani. Mereka mengklaim sebanyak 472 ribu Ha hutan di Jawa kritis di bawah pengelolaan Perum Perhutani.

Muhammad Ichwan, Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengapresiasi keputusan Pemerintah. Ia menilai kebijakan ini punya keperpihakan kepada petani dan akan memberikan harapan baru di sektor kehutanan. Ia menjelaskan dalam konteks hari ini kebijakan tersebut menjadi semangat baru bagi petani di sekitar kawasan hutan khususnya di Jawa.

Namun, Ichwan tetap mengigatkan untuk berhati-hati dan kritis dalam menyikapinya. Sebab kebijakan ini belum jelas betul dalam aktualiasasinya. Kebijakan ini tidak semata-mata, katanya, untuk Perhutanan Sosial dan Tora/PPTKH (Tanah Obyek Reforma Agraria).

“Karena ada juga kepentingan untuk penggunaan lainnya misalnya untuk kepentingan Perkebunan, tambang, infrastruktur dan lain sebagainya. Sampai saat ini Pemerintah belum mengeluarkan peta dimana obyek KHDPK dan berapa luas PS, Tora/PPTKH, luas penggunaan kawasan hutan di luar kepentingan kehutanan, dll dalam skema KHDPK ini,” terang Ichwan.

Ichwan menyampaikan bahwa seharusnya Pemerintah mengalokasikan 1,1 Juta Ha untuk Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria dalam skema KHDPK ini. “Mengapa PS dan RA perlu jadi prioritas dalam KHDPK?” Ia menjelaskan, pertama karena tujuan utama PS adalah mereforestasi hutan dan memulihkan ekonomi dimana masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dan pemanfaat langsung. Kedua RA (Reforma Agraria) tujuannya adalah mengembalikan hak dan memberikan hak orang tinggal dalam dan sekitar kawasan hutan.

“Misalnya di Jawa ini banyak pemukiman, tempat Ibadah, sekolah dalam kawasan hutan yang statusnya adalah kawasan hutan maka melalui kontek KHDPK lokasi tersebut bisa dikeluarkan dari kawasan hutan,” jelasnya.

Menurut JPIK Ada 3 isu krusial mengenai pengembalian lahan PHT oleh KLHK ; yang pertama Konflik Tenuarial antara Perhutani dengan masyarakat yang bertahun tahun tidak kunjung selesai sampai sekrang dan tambah kronis, Kedua kelestarian Ekelogi dimana dari luas kawasan hutan yang dikelola perhutani 2,4 Jta Ha kondisisinya dari tahun ketahun semakin kritis dan tidak produktif, situasinya seperti yang saya sampaikan diatas dan Ketiga kelestarian Usaha; dari berbagi laporan tahunan Perhutani mengenai keuntungan perusahaan marginnya terus menurun artinya perusahaan ini tidak mengalami keuntungan yang signifikan dengan luas lahan yang dikelola 2,2 jta Ha.

Ichwan mewanti-wanti semestinya yang harus diperhatikan perencanaan KLHK dalam mengatasi isu krusial. Ia tidak menjamin pengambilalihan kawasan hutan oleh KLHK menjadikan hutan lebih baik. “Menurutnya tergantung tiga perencanaan itu.”

“Sejauh ini, perencanaan KLHK belum muncul. Tapi yang jelas, KHDPK ini merupakan langkah untuk menghentikan praktek tidak baik Perhutani dalam mengelola hutan yang sudah berlangsung lama. Bukan soal coba-coba, tapi ini sebuah upaya untuk menjadikan lebih baik. Tentang rakyat yang tidak dipercaya, dan rakyat dianggap tidak mampu, itukan kacamata kolonial,” tegasnya.

Kondisi Hutan Jawa

Ichwan membandingkan kondisi hutan di tahun-tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu lima tahun (2000-2005) hutan di Pulau Jawa telah hilang mencapai 0,8 juta hektar. Mengutip data Forest Watch Indonesia (FWI), di tahun 2000 hutan Jawa seluas 2,28 Ha. Namun sembilan tahun kemudian, 2009, hutan Jawa tidak lebih dari 0,878 juta hektar.

Hasil analisis FWI pada tahun 2014, juga menunjukkan pada kisaran tahun 2009 hingga 2013, hutan di Jawa mengalami deforestasi mencapai 0,33 juta hektar. Penurunan SDH di wilayah Perum Perhutani mengalami penurunan terus menerus juga ditunjukkan oleh beberapa penelitian terbaru.

Data penelitian yang dilakukan Soedomo (2010) menunjukkan bagaimana tegakan hutan mengalami penurunan secara peristen dari tahun 1998 hingga 2004. Ditemukan stok tegakan jati terus menurun menjadi 21,0 juta m3 pada tahun 2005 dan menjadi 18,9 juta m3 pada tahun 2007. Hasil analisisnya menunjukkan pada tahun 2007 hutan jati di wilayah kerja Perhutani didominasi oleh tegakan muda kelas umur I dan II yang mencapai 76%.

Menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan XI Jawa-Madura, pada 1993 luas hutan rakyat 1,9 juta hektare dan pada tahun 2009 naik menjadi 2,7 juta hektare dengan taksiran volume kayu sebanyak 74 juta meter kubik. Bagi Ichwan analisis dan kondisi di atas hanya menunjukkan kondisi neraca SDH. Kondisi semacam tingkat lahan kritis di wilayah perusahaan selama ini tidak dilaporkan pada setiap paparan dan laporan Perum Perhutani. Kondisi dan gambaran lahan kritis pada kawasan hutan bisa diperoleh melalui analisis statistik yang telah diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kondisi ini merupakan alarm. Hutan sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup, sebagai penyangga ekosistem, penyedia air, pengaturan iklim serta pelindung terhadap bencana alam. Berkurangnya luas kawasan hutan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari,” tegas Ichwan.

Menurutnya posisi hutan kian terdesak di tengah laju pengembangan sejumlah mega proyek insfrastruktur sebagai dampak pengembangan Koridor Ekonomi Jawa dalam Kerangka Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia [MP3EI] 2011-2025.

beras