Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Koalisi PKB dan PKS, Pengamat: Cek Ombak Melihat Respons Publik
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin.

Koalisi PKB dan PKS, Pengamat: Cek Ombak Melihat Respons Publik



Berita Baru, Jakarta – Pembentukan koalisi PKB dan PKS disebut hanya untuk ‘cek ombak’. Koalisi gabungan dua partai berbasis Islam itu diprediksi tidak akan awet.

Pengamat politik Ujang Komarudin menilai pembentukan koalisi itu untuk menyatukan basis masing-masing partai. Karena itu diperlukan perekat dalam hal ini koalisi untuk melihat respons akar rumput.

“Karena basis massa kedua partai di bawah tidak ketemu, berantem terus. Jadi kelihatannya cek pasar untuk melihat respons publik terhadap koalisi kedua partai tersebut,” kata Ujang dihubungi, Jumat (10/6/2022).

Berdasarkan hal itu, ia memiliki keyakinan bahwa kedua partai tersebut tidak memiliki daya rekat yang kuat untuk mempertahankan koalisi. Sehingga bukan tidak mungkin jika ke depan koalisi PKB dan PKS akan merenggang dan bubar.

Apalagi diketahui koalisi tersebut masih belum kuat dalam hal suara untuk mengusung calon presiden. PKB dan PKS membutuhkan dukungan, paling tidak dari satu partai untuk bisa mengusung capres.

“Saya melihatnya seperti itu. Masih cari teman. Dan masih dinamis,” kata Ujang.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), menilai kedekatan PKS dengan PKB untuk membentuk koalisi dianggap sebagai gimik politik saja. Menurutnya, kedekatan yang ditunjukan kedua partai politik tersebut hanya untuk provokasi dan propaganda.

“Saya kira ini hanya semacam propaganda untuk memprovokasi partai politik yang lain agar segera menentukan sikap. Sekaligus agar mereka melihat bahwa PKS dan PKB ini punya bergaining position yang harus didekati,” kata Dedi saat dihubungi, Jumat.

Ia mengatakan, jika dipaksakan PKS-PKB berkoalisi tetap tidak bisa memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil 20 persen. Setidaknya membutuhkan satu partai politik lagi untuk memenuhi hal tersebut.

“Sementara untuk bisa mengusung itu mereka minimal masih memerlukan satu partai politik lain. Nah satu parpol itu yang tersisa hanya Nasional Demokrat (NasDem) dan Demokrat,” tuturnya.

Menurutnya, jika anggap saja Demokrat memilih bergabung dengan PKS-PKB maka hal tersebut justru merugikan PKB. Pasalnya nanti PKB dianggap tak punya posisi tawar politik ke depannya.

“Anggap saja yang masuk PKS karena faktor kedekatan emosional begitu ya demokrat. Kalau Demokrat bergabung dengan PKS PKB maka bergaining posisi PKB menjadi hilang karena di sana ada Agus Harimurti Yudhoyono yang punya elektabilitas cukup tinggi melebihi Muhaimin Iskandar, meskipun secara elektabilitas partai politik PKB cukup bagus,” ujarnya.

Untuk itu, Dedi mengatakan, tak akan ada keuntungan yang bisa diraup PKB dalam koalisi tersebut. Satu-satunya keuntungan buat PKB adalah bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang sudah digagas Golkar, PAN dan PPP.

“Jadi jalur keuntungan PKB secara politik ada di KIB artinya ada wacana dengan PKS saya kira ini hanya nuansanya, nuansa gimik politik saja.”

beras