Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kolom: Kerinduan Imam Syafi'i kepada Sang Ibu
Penulis: Zaim Ahya (Penulis dan Pemilik takselesai.com)

Kolom: Kerinduan Imam Syafi’i kepada Sang Ibu



oleh: Zaim Ahya
(Penulis dan Pemilik takselesai.com)

Kolom – Saya kira semua sepakat, peran ibunda Imam Syafi’i merupakan salah faktor yang menentukan kegemilangan beliau.

Teringat saat nyantri di Alfadllu, Kiai Dimyati Rois pernah berkisah:

Setelah berguru selama lima tahun dengan Imam Muslim Al Zinji di Makkah, Imam Syafi’i diminta gurunya itu supaya melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Madinah, berguru kepada Imam Malik, penulis kitab Muwatha’.

Karena sejak lima tahun terakhir belum pernah pulang ke rumah, sebelum ke Madinah Imam Syafi’i memilih pulang terlebih dahulu, sekaligus bermaksud meminta restu kepada ibundanya.

Lima tahun adalah waktu yang tak sebentar. Tentu kerinduan beliau kepada ibundanya telah memuncak. Atas kerinduan itu, Imam Syafi’i pun ingin segera sungkem kepada ibunya. Sesampainya di depan rumah, beliau mengetok pintu rumah agak keras, karena sudah tak sabar ingin sungkem dengan sang ibu.

“Siapa itu?” tanya ibu Imam Syafi’i dari dalam rumah.

“Saya Syafi’i, Ibu. Putra Anda. Saya ingin sungkem dan mohon izin untuk ke Madinah belajar kepada Imam Malik,” jawab Imam Syafi’i.

Sungguh tak terduga, dan memang terpikirkan sedari awal. Ibu Imam Syafi’i menjawab:

“Hai Syafi’i, kamu jangan pulang ke rumah sebelum kamu punya akhlak! (karena mengetok pintu dengan lumayan keras). Pergilah, tidak usah bertemu saya!,” pinta sang ibu.

Mendengar jawabanya sang ibu, Imam Syafi’i seperti tersambar petir, bahkan lebih dari itu. Beliau pun beranjak pergi ke Madinah dengan linangan air mata. Rindu yang telah memuncak itu pun harus beliau tahan untuk ditumpahkan.

Apakah sang ibu tidak rindu anaknya? Tentu rindu. Tak ada ibu yang tak ingin bertemu anaknya, bahkan ibu sebenarnya tak ingin berpisah dengan anaknya. Tapi, demi sesuatu yang lebih besar, pertemuan harus ditunda, rindu harus ditahan dan keinginan harus dikekang, sebagaimana kata Freud: “tanpa pengekangan tak ada peradaban”.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, namun Imam Syafi’i, kendati sudah jadi ulama besar, masih tak berani pulang ke rumah, khawatir belum memiliki akhlak.

Akhirnya ketika Imam Syafi’i sudah pindah ke Mesir, beliau memberanikan diri meminta orang-orang dari daerah beliau yang merantau ke Mesir untuk menanyakan kepada sang ibu, apakah Syafi’i sudah diizinkan pulang.

“Syafi’i sudah boleh pulang, ia sudah memiliki akhlak,” jawab sang ibu memberi izin.

beras