Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Perlawanan Para Kiai terhadap Kolonialisme Belanda di Depan Penjara Sukamiskin

Perlawanan Para Kiai terhadap Kolonialisme Belanda di Depan Penjara Sukamiskin



Berita Baru, Kolom – Kekuatan represif kolonial Belanda disimbolkan dengan keberadaan penjara. Di Bandung, Jawa Barat, Belanda membangun penjara terkenal bernama Sukamiskin. Di penjara itulah para aktivis pergerakan nasional, baik dari kaum intelektual maupun kiai dipenjara.

Pada tahun 1932, para kiai pesantren tidak segan-segan untuk menantang Belanda di depan penjara yang terkenal kejam tersebut. Bung Karno pernah dipenjara di Sukamiskin oleh Belanda. Pada tahun tersebut, NU hendak menyelenggarakan Muktamar ke-7. Para kiai pesantren mengerahkan kekuatannya untuk menghadapi kekuatan militer Belanda.

Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mencatat bahwa Belanda memusatkan kekuatan politiknya di Batavia, sementara kekuatan ekonominya ditempatkan di Semarang dan Surabaya. Adapun kekuatan militernya dipusatkan di Priangan, khususnya Bandung.

Setelah melakukan perlawanan di pusat politik dan ekonomi Belanda, para kiai mempertimbangkan untuk melancarkan tantangan di pusat militer Belanda di Bandung itu. Dengan pertimbangan strategis semacam itu, para ulama memutuskan bahwa Muktamar ke-7 NU tahun 1932 diselenggarakan di depan Penjara Sukamiskin.

Belanda mengetahui niat perhelatan NU tersebut, karena itu mereka tidak mengizinkan Muktamar diselenggarakan di sekitar penjara Sukamiskin. Karena khawatir gelombangnya masuk ke dalam penjara sehingga bisa menimbulkan huru-hara. Hal ini tentu mengancam kolonial Belanda yang sedang sekarat.

Belanda yang sudah lemah akhirnya mengizinkan perhelatan Muktamar tersebut dengan syarat tempatnya lebih jauh sehingga tidak mengganggu ketertiban wilayah penjara. Para kiai tidak masalah, sebab di sekitar Sukamiskin terdapat kampung bernama Sirnamiskin.

Di Kampung Sirnamiskin terdapat pesantren walaupun tidak besar, tetapi jika dipaksakan bisa menampung Muktamirin dari seluruh Indonesia. Sebagian bisa menginap di pesantren, sebagian lagi bisa menginap di penginapan yang ada di Kota Kembang yang juga menjadi peristirahatan kaum kolonial.

Setelah muktamar dilaksanakan, tak ayal perhelatan tersebut memunculkan gelora baru di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali dengan para aktivis yang ada di dalam penjara. Sebab berbagai acara muktamar disiarkan melalui pengeras suara. Hal itu terdengar di telinga para aktivis di dalam penjara.

Saat itu Bung Karno telah dilepaskan dari Sukamiskin tetapi para aktivis pergerakan lainnya masih mendekam di dalamnya. Diselenggarakannya muktamar tersebut kembali membakar semangat juang para aktivis. Karena ternyata di luar tembok penjara masih ada kelompok ulama yang berani memperjuangkan kebebasan yang dikobarkan di tengah belenggu penjajah yang mencekam.

Di sela perhelatan Muktamar tersebut, para pimpinan NU seperti KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, Kiai Asnawi, Kiai Maksum, dan kiai lainnya menyempatkan diri mengunjungi para aktivis pergerakan yang ditahan di penjara Sukamiskin. Tidak hanya memberikan doa, tetapi memberikan bingkisan, pakaian, makanan, dan yang penting buku bacaan.

Apa yang dilakukan para kiai tersebut membuat semangat para aktivis pergerakan kembali menggelora. Para aktivis memberikan simpati pada pergerakan NU itu yang penuh dengan keberanian menantang kekuatan militer Belanda dengan jalan damai.

Hal itu membuat misi para kiai tercapai, tetapi tidak terjadi kerusuhan sehingga Belanda tidak mempunyai alasan untuk membubarkan perhelatan muktamar. Sebab acara tersebut dikemas sebagai acara keagamaan, namun semangat perjuangannya membuat para aktivis di tahanan Sukamiskin kembali menggelora.

beras