
Puisi Karawang Bekasi Chairil Anwar
Berita Baru, Puisi – Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Ia merupakan putra mantan Bupati Indragiri Riau, dan masih memiliki ikatan keluarga dengan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir.
Chairil Anwar sering kali disebut sebagai pelopor angkatan ’45 dalam sejarah sastra Indonesia. Karya-karya Chairil Anwar banyak bertemakan tentang kematian, eksistensialisme dan individualisme.
Puisi-puisi Chairil Anwar tidak hanya berbahasa Indonesia namun juga diterjemahkan dalam bahasa asing. Hal itu membuktikan bahwa karya Chairil Anwar juga diakui dunia.
Meskipun hidupnya tergolong singkat dan meninggal dalam usia muda Chairil Anwar meninggalkan jejak yang sangat berarti bagi dunia sastra Indonesia dan kepenyairan tanah air.
Salah satu puisi karya Chairil Anwar yang sering dibacakan dan dibahas menjelang peringatan Kemerdekaan adalah Karawang Bekasi.
Berikut Puisi Karawang Bekasi Chairil Anwar:
Krawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.