Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Reformasi 1998 dan Keterlibatan NU
Peristiwa 1998 (Foto: BBC)

Reformasi 1998 dan Keterlibatan NU



Bulan Mei menjadi salah satu bulan bersejarah bagi Republik Indonesia. Sebab, rezim otoritarianisme Soeharto yang mencengkram selama 32 tahun berkuasa, akhirnya tumbang. Tepat pada tanggal 21 Mei 1998 lalu, lahirlah masa baru. Masa yang acap disebut sebagai Era Reformasi.

Tumbangnya Soeharto itu bukan ujug-ujug datang dari langit. Pelbagai elemen telah bertahun-tahun berjuang, bergerak, bergandengan tangan satu sama lain. Puncaknya, saat ekonomi terus terjun, kenaikan harga kebutuhan pokok, nilai mata uang yang anjlok, dugaan korupsi yang mengakar, hingga berbagai tindakan represif yang membuat suasana semakin tidak kondusif.

Situasi yang sedemikian panas itu mewarnai sosial-politik di Indonesia. Akhirnya, Indonesia dihantam krisis moneter sehingga menambah daftar kekacauan Negeri Zamrud Khatulistiwa itu.

Kini, usia Era Reformasi itu masih terbilang muda. Baru 24 tahun. Kondisi yang rumit itu, tak banyak yang tahu dan melihat peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengupayakan terwujudnya Reformasi. Padahal, baik secara kultural maupun struktural, NU bergerak secara aktif dalam mewujudkan harapan bersama seluruh rakyat Indonesia itu.

Dalam Ensiklopedia NU (2014), dijabarkan para kiai melakukan pertemuan khusus di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur yang diasuh oleh salah seorang kiai khos, yakni KH Abdullah Faqih. Pertemuan tersebut digelar pada Senin, 11 Mei 1998.

Di situ, para kiai sepuh dari berbagai wilayah di Indonesia membicarakan mengenai situasi terakhir yang tengah berkembang di Indonesia. Tuntutan perubahan untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran menjadi topik serius yang mereka diskusikan.

Keputusan agar Presiden Soeharto turun menjadi kesepakatan di forum tersebut. Keputusan yang dihasilkan oleh para kiai itu, akhirnya ditulis dalam secarik kertas surat resmi yang ditujukan kepada Soeharto. Pertemuan tersebut mengutus KH Abdul Muchit Muzadi dan KH Yusuf Muhammad. Dua kiai yang berasal dari Jember, Jawa Timur.

Empat hari berselang, tepat pada Jumat, 15 Mei 1998, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu, KH Abdurrahman Wahid atau yang dikenal Gus Dur didatangi Letjend Prabowo Subianto. Kala itu, Prabowo menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) sejak Maret 1998. Tak tanggung-tanggung, ia datang pada pukul 02.00 WIB dinihari.

Gus Dur memang dikenal lantang berbicara mengenai Reformasi dalam berbagai forum. Bahkan, catatan Kevin O’Rourke dalam bukunya, Reformasi: The Struggle for Power in Post Soeharto Indonesia (2002: 119) menyebutkan Gus Dur mengeluarkan siaran pers. Dalam siaran pers itu, beliau menyampaikan agar Presiden Soeharto berkenan menjadi pandito, sosok yang dihormati tanpa memegang jabatan formal. Secara tidak langsung, Gus Dur meminta agar Soeharto turun dari kursi kepresidenannya.

Tidak berhenti di situ, Emha Ainun Najib, dalam bukunya yang berjudul Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto, mengisahkan Gus Dur juga berbicara secara langsung kepada Soeharto untuk turun dari jabatannya itu sebagai langkah awal reformasi secara total. Hal itu dilakukan bersama para tokoh lain dari kalangan Muslim pada 19 Mei 1998.

Pertemuan itu juga diikuti secara aktif oleh KH Alie Yafie yang saat itu menjabat sebagai ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ilyas Ruhiat yang saat itu mengemban amanah sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ma’ruf Amin, Ahmad Bagdja, Anwar Harjono yang merupakan tokoh Masyumi, Cendekiawan Nurcholis Madjid atau Cak Nur, Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, dan Malik Fajar dan Soetrisno Muhdam dari kalangan Muhammadiyah.

Secara struktural NU mengikuti jejak para kiai khos yang menyatakan agar Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal tersebut disampaikan pada Sabtu, 16 Mei 1998.

“NU membuat pernyataan yang menyerukan agar Soeharto lengser keprabon. Pernyataan ini dijawab oleh Jubir ABRI, Brigjen. Mokodongan dalam konferensi pers. Setelah itu, tokoh-tokoh NU dan tokoh dari organisasi lain mendatangi Soeharto untuk meminta mundur.”

Pelbagai cara serta dorongan yang sedemikian kuat dari NU dan berbagai lapisan masyarakat Soeharto pun akhirnya menyatakan sikapnya untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden pada Kamis, 21 Mei 1998.

“Soeharto mundur dari jabatan presiden. Wakil Presiden BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid pada tahun 1999.”

Lengsernya Soeharto menandai satu masa yang baru bagi Indonesia setelah melalui Era Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno dan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, yakni Era Reformasi. Setelah 24 tahun, apakah Reformasi saat ini sudah sesuai dengan yang dicita-citakan?

beras