Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Setelah Diputus Kalah, Warga Desa Sumberlele Kraksaan Tempuh Upaya Banding
Warga Desa Sumberlele memerlihatkan surat pengajuan banding untuk di serahkan ke Pengadilan Negeri Kraksaan.

Setelah Diputus Kalah, Warga Desa Sumberlele Kraksaan Tempuh Upaya Banding



Berita Baru Jatim, Probolinggo -Pengadilan Negeri Kraksaan menerbitkan putusan nomor 34/PDT.6/2020/_N.KRS yang berisikan mengabulkan penggugat dan menetapkan bersalah kepada Hasan Sanah, Nurfila dan Juha. Tiga warga Desa Sumberlele Kecamatan Kraksaan itu digugat oleh salah satu pengusaha bernama Hakimuddin yang mengklaim tanah milik pribadi.

“Padahal, warga telah mendiami tanah yang sebenarnya merupakan milik negara selama berpuluh-puluh tahun. Semua mimpi buruk berawal sejak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Probolinggo menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama salah satu pengusaha, bernama Hakimuddin pada 31 Juli 1996,” kata S Husein Penasehat Hukum tiga warga Sumberlele, melalui keterangan tertulis yang diterima Beritabaru.co, Rabu (27/01/2021).

S Husein mengatakan UU Pokok Agraria dalam pasal 20 tertulis Hak Milik adalah hak turun menurun dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Mestinya tanah itu milik warga Sumberlele.

“Menurut UU Pokok Agraria, dalam pasal 20 yang menyebutkan bahwa ‘Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah’, maka mestinya tanah tersebut hak warga Sumberlele.” jelasnya.

Setelah Diputus Kalah, Warga Desa Sumberlele Kraksaan Tempuh Upaya Banding

Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa ‘pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut- turut’.

“Namun, pasca terbitnya SHM, Hakimuddin melakukan manuver untuk mencaplok tanah milik warga Sumberlele. Pada tahun 1997, ketika Hasan merantau ke Batam, Bu Hasan dan Bu Juha diminta oleh istri Hakimuddin untuk menandatangani Surat Izin Pinjam Pakai. Bu Hasan dan Bu Juha merupakan dua orang warga Kabupaten Probolinggo yang buta huruf,” ungkapnya.

“Mereka dipaksa untuk menandatangani surat tersebut tanpa dijelaskan terlebih dahulu oleh istri Hakimuddin. Karena keterbatasan, Bu Hasan dan Bu Juha tidak bisa tanda tangan, melainkan dengan membubuhkan cap jempol tanpa tahu isi surat tersebut,” tambahnya.

Husein mengungkapkan fakta lain mayoritas warga adalah pekerja informal yang pendapatan yang terbatas dan ia merujuk BPS Probolinggo 2019 angka kemiskinan semakin tinggi dan di jadikan kabupaten termiskin ke 4 di Jawa Timur.

“Fakta lain menyebutkan bahwa mayoritas warga Desa Sumberlele merupakan pekerja informal dengan pendapatan yang terbatas. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo tahun 2019 menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Probolinggo semakin tinggi hingga menjadikan kabupaten termiskin keempat di Provinsi Jawa Timur,” ungkapnya.

Di lain sisi, masih banyaknya warga hanya menempati rumah bukan milik pribadi. Hal ini indikasinya karena ketimpangan akses terhadap tanah yang semakin dalam. “Sedikit orang memiliki banyak tanah, banyak orang memiliki sedikit bahkan tidak memiliki tanah,” jelasnya.

Terbitnya SHM atas nama Hakimuddin tersebut selain merampas hak warga Sumberlele juga mencaplok tanah negara yang mestinya diberikan kepada tunawisma.

“Dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, jelas disebutkan bahwa Sungai dikuasai oleh negara dan merupakan kekayaan negara, Dipertegas dalam Pasal 5 ayat 1 Sungai terdiri atas palung sungai dan sempadan sungai. Hal ini membuktikan bahwa tanah yang selama ini ditempati oleh warga Sumberlele merupakan tanah yang dikuasai Negara,” jelasnya.

Ia sangat menyanyangkan Badan Pertahanan Nasional (BPN) Probolinggi justru menerbitkan SHM kepada pengusaha bukan di luar desa Sumberlele dan penggusuran telah mengancam warga yang akan memperpanjang deretan konflik agraria di Probolinggi yang jarang disorot.

“Menggusur warga yang tinggal di sempadan sungai begitu saja adalah langkah yang kurang bijaksana. Sebab bagaimanapun mereka sudah tinggal di wilayah itu selama bertahun-tahun. Lebih-lebih ancaman penggusuran bukan merupakan kepentingan Negara melainkan hasrat kepentingan pribadi,” pungkas Husein Pendamping Hukum Warga.

Husein mengutarakan Majelis hakim telah mengabaikan semua fakta dalam memutuskan gugatan warga dan putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan bagi tiga warga Sumberlele.

“Majelis hakim mengabaikan semua fakta tersebut dalam memutuskan gugatan yang dialami warga. Putusan majelis hakim, dirasa tidak memenuhi rasa keadilan bagi Hasan Sanah, Nurfila, dan Juha serta warga Sumberlele lainnya yang berjuang memperoleh keadilan. Tentu hal ini akan menjadi preseden buruk bagi keadilan di tanah air,” jelasnya.

“Namun, putusan PN Kraksaan tidak membuat warga Sumberlele ciut. Kini warga bersama tim advokasi tetap menempuh jalur konstitusional untuk memperjuangkan keadilan dalam kasus ini dengan melakukan upaya hukum banding. Warga desa Sumberlele berharap keadilan di Indonesia masih memihak kepada rakyat,” tutupnya.

beras