Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

63 Tahun Biru Kuning Berkibar

63 Tahun Biru Kuning Berkibar



Berita Baru, Solo – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi kemahasiswaan terbesar. Sejarah panjang perjuangan PMII tercatat di banyak literatur. Tonggak yang ditancapkan di Bumi Surabaya itu kini melahirkan banyak kader. Sebagai wadah kaderisasi, nilai-nilai dan gagasan perjuangan terus dirawat.

Tak perlu meragukan semangat para kader-kader PMII. Pelbagai khazanah keilmuan terus diasah. Diktat-diktat ilmiah, kitab-kitab klasik, hingga teknologi mutakhir menjadi instrumen merawat nilai perjuangan. Watak pembelajar dan pejuang yang ditularkan pendiri masih terasa hingga saat ini. Meski, lambat-laun intensitasnya kian menurun.

Kita mesti mengakui dengan jujur kondisi realitas yang ada. Kekeliruan-kekeliruan besar dan mahal membuat kapasitas kader merosot. Ada banyak musabab. Baik secara internal maupun eksternal. Hanya saja yang paling mencolok dari merosotnya kualitas kader, yakni kultur dan tradisi akademik. Membaca, menulis, dan berdiskusi, secara ketat dan serius menjadi suatu yang kian langka dan sulit ditemui.

Keadaan tersebut penting kiranya disikapi. Setidaknya kita mampu terlebih dahulu mendiagnosa apa musabab yang paling dominan. Merosotnya kultur dan tradisi akademik memang menjadi fenomena global. Bukan hanya PMII. Bahkan secara umum, keadaan mahasiswa hari ini memang kian mengkhawatirkan.

Diagnosa yang paling kentara yakni disebabkan oleh teknologi. Teknologi justru melenakan. Meski di sisi lain tak sedikit kader yang memanfaatkan teknologi. Namun tak jarang pula kader-kader PMII justru merawat kultur dan tradisi akademik justru di luar PMII.   

Secara organisasi, sebenarnya, kompetensi dan pengembangan kader sudah mampu difasilitasi. Hanya saja, optimasi dan efektifitas sistem kaderasasi seperti mandeg dan jalan ditempat. Road map dan konsep kaderisasi yang dibangun oleh pendahulu sudah canggih. Tiga pola kaderisasi pun—formal, non formal, dan informal—rasa-rasanya menjadi pola dan konsep yang tak lekang oleh waktu.

Hanya saja, kita patut akui bahwa pola kaderisasi itu mandeg disebabkan oleh mental formalitas yang dimiliki setiap kader—meski tak semua. Kesadaran akan pentingnya berorganisasi dan ideoligisasi tak menyublim menjadi nilai. Semua menguap dan selesai sebatas sertifikat selembar.

Penyebab utama dari kekeliruan-kekeliruan kita adalah kurang memahami kenyataan yang ada. Selain itu, kita kekurangan perangkat, yang menumpulkan pandangan kita. Tidak berlebihan kiranya, bila pola kaderisasi diberi penyegaran. Bukan dengan merubah; melainkan disesuaikan ‘bungkusan’ nya.

Sebagai ilustrasi, biasanya kegiatan kaderisasi, dari Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), Pelatihan Kader Dasar (PKD), hingga Pelatihan Kader Lanjut (PKL) dilakukan di gedung-gedung. Bukan suatu hal yang keliru, bila lokasi kegiatan kaderisasi itu lebih mendekatkan diri kepada masyarakat. Di samping bertujuan untuk mengenalkan kader tentang keberpihakan PMII terhadap kaum mustad’afin, lokasi itu penting untuk menunjukkan sikap positioning PMII sebagai organisasi.  

Perubahan sederhana itu memang terkesan biasa saja. Namun di titik itu optimasi dan efektifitas bisa diuji. Sebab, dari pemilihan lokasi itu para kader mampu secara langsung mengimplementasikan materi-materi yang telah didapat. Misal Nilai Dasar Pergerakan. Secara tidak langsung lambat laun, kesadaran untuk merawat kultur dan tradisi akademik itu tumbuh. Kesadaran mereka bukan berarti dilepas begitu saja. Intensitas pendampingan terus digalakkan.

Pendampingan yang dimaksud bukan sekadar penguatan materi ideologisasi. Lebih dari itu, pendamping mesti mulai melihat pemfokusan masing-masing kader. Mudahnya, pemfokusan itu sesuai dengan ketertarikan kader. Di PMII biasanya dikenal dengan kaderisasi fakultatif.

Di titik itu, fakultatif memang penting. Hanya saja, tak sedikit kader yang merasa tersesat dan tak memiliki ketertarikan di fakultas tersebut. Kader-kader yang demikian penting kiranya juga mendapat perhatian. Sedari awal, seyogyanya telah terlihat ketertarikan tersebut.

Sebab, kita menyadari bahwa perkembangan dunia hari ini cukup pesat. PMII mesti mampu menjawab tantangan zaman. PMII mesti mampu melahirkan kader-kader, yang bukan hanya mampu mendaras kitab-kitab klasik, yang bukan hanya sekadar ngelotok tentang teori-teori keilmuan. Lebih dari itu PMII mesti melahirkan ekonom-ekonom handal, mesti melahirkan dokter-dokter handal, arsitek-arsitek handal, yang semua itu bermuara pada semangat dan nilai pergerakan, yakni membela kaum mustadafin.

Di titik ini paradigma dalam konteks gerakan PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak dalam menentukan pola pikir dalam melihat, menganalisis dan menafsirkan realitas yang menjadi objek kawalan PMII. Sehingga dapat menjadi ladasan dalam menentukan gerakan yang strategis, dengan tetap mempertahankan militansi ideologis-nya sebagai ruh gerakan.

Pendekatan konseptual terhadap segala bentuk gejala dan problem sosial melalui analisis ketat dan matang berdasarkan teori yang nanti akan disediakan secara sistemik dengan dasar epitemologi yang juga jelas dan rapi. Lewat hal ini pula, akan menegaskan identitas PMII itu sendiri sebagai komunitas intelektual dan aktor perubahan dalam satu keberpihakan luhur terhadap isu-isu ketimpangan, dominasi, pembodohan dan diskriminasi, yang senantiasa terjadi pada penduduk pinggiran: petani, mustad’afin, dst.

Perkembangan kaderisasi berkelindan dengan kuatnya organisasi. Bila organisasi keropos, muskil terjadi kaderisasi yang mapan. Itu sebabnya profesionalitas dalam mengelola organisasi menjadi tantangan berikutnya. Pelbagai strategi dalam pengelolaan organisasi patut dipertimbangkan. Intensitas kajian dan diskusi telah dibicarakan.

Kita semua sepakat bahwa penataan organisasi berangkat dari data yang tepat. Tanpa data yang ketat dan tepat, bukan tak mungkin strategi pengembangan dan penguatan organisasi akan salah jalan. Tanpa data, arah organisasi akan tumpul. Bahkan tanpa arah.

Patokan itu menjadi prasyarat utama. Lebih-lebih di zaman ini pendataan dapat dilakukan dengan mudah. Data itu akan dikumpul dalam satu database yang dapat diakses oleh banyak kader-kader PMII. Di samping bertujuan untuk pondasi dasar pengambilan kebijakan.

Dari satu titik tentang database itu, akan memunculkan ranting-ranting anyar. Semua kelebihan dan kekurangan akan terpetakan dengan detail. Bahkan bila perlu, pendataan tersebut bukan sekadar mendata. Bukan cuma menyusun angka. Namun data tersebut juga akan mengukut kualitas kader-kader PMII ke depan. Lebih-lebih dalam penguatan ideologi.

Barangkali bukan suatu yang baru bila PMII rentan kecipratan noda-noda politik. Itu sebabnya ideologisasi PMII menjadi penting digencarkan. Di sisi lain penataan organisasi dengan apresiasi penting dilakukan. Membentuk akreditasi untuk cabang-cabang terbaik.

Kekuatan itu menjadi bangunan dasar yang tak patut bila dicampakkan. Sebab gerakan apapun akan mengukur sejauh mana kekuatan yang dimiliki. Itu sebabnya dari data, ideologisasi, hingga akreditasi akan dapat terlihat potensi masing-masing kader.

Potensi-potensi tersebut akan semakin kokoh bila digabung menjadi satu wadah. Pembentukan sayap organisasi di masing-masing isu, akan membantu arah gerakan PMII ke depan.

Sayap organisasi ini barangkali pun dapat merangkul alumni-alumni yang an sich dalam isu-isu tertentu. Di samping mendukung arah gerakan PMII, sayap organisasi ini akan mendorong suatu iklim yang lebih demokratis, egaliter, dan progresif.

Tantangan gerakan mahasiswa saat ini, pada dasarnya, bukanlah pada seberapa heroik aksi yang ditampilkannya, melainkan seberapa cermat ia bergerak untuk menantang sistem sosial kapitalisme yang kian hegemonik. Pada titik inilah kita merasakan pentingnya pesan seorang Dipa Nusantara Aidit dulu, bahwa ‘Mereka yang punya pengetahuan buku harus pergi ke kenyataan yang hidup, supaya bisa maju dan tidak mati dalam mengeloni buku… Mereka yang berpengalaman bekerja supaya pergi studi dan supaya membaca dengan sungguh-sungguh… dengan demikian dapat meningkatkan diri di lapangan teori.’ 

Bagi aktivis gerakan mahasiswa, teori dan praktik adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Kondisi tersebut jelas berbeda dengan gerakan 90-an, di mana gerakan kaum muda berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan, kaum muda menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem koruplah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Oleh karena itu, kontinuitas gerakan terpelihara. Perdebatan-perdebatan teoretik berlangsung secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif yang mencerahkan (Ari Priyatno, 2012:178).

Di titik ini Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mesti mengambil peran. Keberpihakan terhadap kaum mustad’afin dalam tubuh PMII, barangkali, tak perlu dipertanyakan lagi. Hanya saja, penting kiranya untuk melakukan pelbagai evaluasi. Salah satu evaluasi itu—evaluasi dalam seluruh gerakan mahasiswa—yaitu terfragmentasi. Kondolidasi gerakan tak terawat apik.

Pendobrakan pada mitos-mitos lawas dan memperbaikinya menjadi hal penting lain yang harus digarap. Landasan historis pada PMII, dapat menjadikan pijakan untuk melakukan upaya rekonstruksi kembali apa yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalam pembacaan realitas sekarang.

Kepentingan-kepentingan pragmatisme kerap lebih kental ketimbang nilai-nilai pembelaan terhadap kaum mustad’afin menjadi problem yang mengakar di hampir seluruh gerakan mahasiswa. Jejaring ekosistem dari lingkaran mereka kerap menjadi senjata ampuh untuk menakut-nakuti demi kepentingan pribadi. Imbasnya citra organisasi dipertaruhkan. Pola oportunis ini akan membuat publik—bahkan di beberapa titik—warga yang terdzolimi justru enggan percaya. 

Di sisi lain, pasca-Reformasi, hanya dalam waktu tak lama setelah keberhasilan menjatuhkan rezim Soeharto, terjadi migrasi besar-besaran mahasiswa dan aktivis kampus ke hiruk-pikuk dunia politik parlementer, yang dengan sekejap menyulap “eks-aktivis” menjadi kolaborator rezim. (Muhammad Al Fayyadl, Bunuh Diri Kelas).

Citra buruk ini mungkin tindakan tak etis perseorangan. Namun seragam dan bendera yang berkibar di balik person itu pun kerap menjadi tumbal. Di titik lain ekslusifme yang menjadi corak gerakan mahasiswa kini kian memperparah ketidakpercayaan publik terhadap organisasi mahasiswa. Kaum-kaum mustad’afin tak lebih sekadar objek pengadvokasian, penelitian, bahkan seringkali menjadi obyek proyek-proyek demi mendulang keuntungan pribadi. Kondisi ini mesti menjadi pelajaran berharga yang sudah waktunya dibenahi. Bila tidak, organisasi semacam ini seperti sedang menggali kubur nya sendiri. 

Sehingga gerakannya menjadi lemah, gagap, dan bersifat temporal. Kita tunjuk langsung—melalui fakta di atas—sebagai otokritik dan kritik: gerakan ke-PMII-an kita hari ini adalah gerakan yang borjuistik. Yang melanggengkan egoisme dan hasrat pribadi, menipiskan solidaritas, memupuk kebanggaan atas kemewahan materiil di atas ketimpangan sosial.

Pada konteks inilah, PMII absen dari tugas luhurnya dalam menginisiasi dan menciptakan perubahan-perubahan sosial. Tujuan besar PMII menjadi kandas di tengah jalan. 

Dan akhirnya, yang dapat kita lihat hari ini: pembelaan terhadap rakyat, sekedar menjadi cita-cita yang lapuk, usang, dan sekedar mejadi tema di meja-meja diskusi, diperdebatkan, sampai tak kunjung menemukan titik terang untuk segera diatasi dan dicarikan solusi. Tak ada hasil yang dapat dicapai. PMII telah kehilangan taring, bahkan asing dari kultur dimana ia dulu dilahirkan, yakni: dari masyarakat akar rumput.

Keadaannya kini sudah terbalik. PMII sebagai wadah kemahasiswaan yang lahir dari dan untuk melindungi masyarakat pinggiran, kian hari semakin terlena dengan posisi “di pusat”—sebagai letak geografis yang metropolitan—di mana akses informasi dan teknologi dapat terakses dengan cepat. Sementara mereka tidak sadar, bahwa wilayahnya sendiri, pelan tapi pasti sudah banyak yang dikuasai oleh orang “di pusat”, yang sejatinya telah menyadari bahwa menguasai “wilayah pinggir” merupakan kunci untuk menguasai bangsa ini. (Roychan Fajar, Paradigma Pinggiran) 

Hal ini adalah salah satu fakta tentang mulai teralienasinya gerakan PMII pada isu-isu lokal; masalah yang sebenarnya telah menggerogoti kehidupan PMII itu sendiri. Pada fase ini, kita harus sadar, bahwa sudah saatnya PMII kembali hadir dalam setiap persoalan-persoalan pinggiran, juga senantiasa turut berjuang dalam mempertahankan seluruh khazanah kerifan lokalnya yang kini sudah juga mulai kering dari spirit ideologis. 

Oleh karenanya, agar PMII dapat melakukan pendampingan terhadap itu semua, ia perlu—berdasarkan problem yang di atas telah terjabarkan—melakukan penataan ulang terhadap kerangka berpikir, sehingga nanti dapat melakukan proyek rekonstruksi terhadap gerakannya yang selama ini sedang duduk terpukung di bawah kuasa pemodal dan elik politik-pragmatis.

Mengembalikan kepercayaan memang bukan perkara mudah. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Pelbagai strategi dan ikhtiar harus mulai dipikirkan. Prasyarat utama dalam memulihkan citra-citra baik itu tak lain adalah memastikan sterilisasi organisasi. Kebersihan organisasi dari mental-mental koruptif, pragmatis, dan oppurtunis itu menjadi pondasi dasar. Bangunan itu setidaknya harus dikuatkan oleh pelbagai pilar penyangga. Salah satunya yakni dengan membangun gerakan kolektif dengan elemen-elemen masyarakat sipil lain. Gerakan yang egaliter, demokratis, itu mampu mendidik kader-kader PMII untuk bersikap inklusif. Di titik lain, kita akan dididik untuk jujur pada diri sendiri. Sebab, kontrol bukan sekadar dari internal melainkan mata-mata di eksternal pun akan menyoroti. 

Di tengah kondisi bangsa dan negara yang sedemikian menyedihkan itu membuat kami sadar untuk terlibat dalam gerakan yang inklusif. Menyambung silaturahim dan jaringan dengan beberapa elemen masyarakat sipil penting dilakukan. Sebab kami sadar perubahan tidak dapat dibangun jika berjalan sendiri-sendiri.

Di samping itu bergabung dengan berbagai aliansi turut menambah spirit dalam mengawal beberapa kasus. Gaung solidaritas justru terlihat dan nampak saat bergerak bersama. Termasuk kasus-kasus yang dikawal sahabat-sahabat di masing-masing daerah.

Tak ubahnya gerakan mahasiswa secara umum, PMII juga menjadi bagian penting yang dituntut untuk menyuarakan hal-hal dzalim.

Di lingkar jaringan itu, akan menemukan pola dan arah yang lebih tepat. Bukan hanya sekadar gerakan reaksioner, kita akan terlibat dalam pengorganisiran dan penyusunan data-data riset penopang gerakan. Semua ikhtiar itu mesti dalam kerangka struktural organisasi. Dari tingkat paling bawah hingga paling atas. Garis koordinasi ini mesti terjalin dengan apik. Koordinasi ini menjadi penopang di setiap gerakan. Bukan hanya kebutuhan massa, melainkan pembelajaran bagi kader bahwa perubahan tak bisa dilakukan seorang diri. 

Kader-kader pun dilibatkan dalam pelbagai kerja-kerja riset maupun pengorganisiran. Yang nantinya hasil dari kerja-kerja riset itu akan melahirkan sebuah catatan kritis dan progresif. Intervensi politik menjadi salah satu agenda lanjutan. Alumni-alumni PMII yang bergerak di sektor-sektor strategis pemerintahan mampun menjadi daya gedor isu yang tengah kita kawal. Itu sebabnya menyambung nafas dan ruh gerakan menjadi relevan dan penting dilakukan.

beras