Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Air Mata Naura Part 2| Cerpen Abd Aziz

Air Mata Naura Part 2| Cerpen Abd Aziz



Ibu pingsan, setelah mendengar putri semata wayangnya kini sudah tak suci lagi. Disisi lain, ayah yang berada di lantai bawah, berlari bagai kuda pacu. Menaiki tangga, berbelok kanan dan kiri.

Ibu kenapa Naura? “. Sesampainya di kamarku, ayah bertanya panik. “Cepet, panggilkan pak Sopir di bawah”. Tanpa menunggu jawaban, ayah menyuruhku memanggil pak Joko, sopir pribadi ayah. Kemudian kami bertiga pun bergegas membawa ibu ke rumah sakit.

Ayah panik, mengkhawatirkan keadaan ibu. Sedangkan aku, aku lebih panik karena sebentar lagi mereka akan tahu tentang bayi dalam perutku ini.

Bagaimana dok?”. Sergap ayah. “Ibu gak papa, mungkin hanya syok!”. Penjelasan dokter, membuat ayah menarik nafas tenang.

***

Mau ditarok dimana muka ayah?, hah!?, jawab!. Kamu pikir punya anak itu gampang. Ayah saja yang membesarkanmu dengan penuh kasih sayang masih kecolongan seperti ini. Ayah menggeram, melotot sambil mengumpat sumpah serapahnya. Diluar hujan turun deras. Sesekali terlihat Kilauan petir di sela-sela jendela. Ibu duduk agak jauh membelakangiku. Ia menangis pekik.

Naura masih mau sekolah yah!. Naura mau bahagiain kalian berdua”. Pintaku dengan nada yang tidak stabil akibat tangis hebat. Mendengar itu, ayah mendekatkan wajahnya. “Kamu mau sekolah!??. Suara ayah terdengar lirih dengan senyuman kekecewaan. Lalu kembali membentak. “Naura…!!, sekolahan mana yang mau menerima muridnya hamil!??” Kamu sudah merusak masa depanmu sendiri Naura, camkan itu!”. Ayah memegangi kepalanya, menghentakkan tubuh ke sofa lalu menangis tersedu-sedu. Seumur hidup, aku tak pernah melihat ayah semarah dan seterpuruk ini.

Malam itu adalah pertama kalinya aku lihat ibu sama sekali tidak mau melihatku.

Salah, salah, salah!. Kata itu terus terngiang di telingaku. Namun, jika aku tak bisa memutar waktu untuk memperbaiki semua ini. Maka aku harus memperbaikinya di masa sekarang. Meski itu bertentangan dengan hati kecil aku. Aku harus segera gugurkan kandunganku ini

***

Hari demi hari berlalu. Dunia masih berjalan normal, namun tidak dengan duniaku. Semuanya terasa semu dalam hitam putih yang bisu. Terlebih saat ku dengar kabar tentang Ryan yang pindah sekolah ke jepang, tempat orang tuanya bekerja. Pantas saja, beberapa hari terakhir aku tidak pernah bertemu dengannya.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi”. Tubuhku lemas tatkala kucoba berulang kali menghubungi nomor teleponnya.

Ryan..!, sampai detik ini aku masih tidak percaya kamu gak ada di samping aku. Apa salah kalau aku masih berharap sama kamu”. Batinku dengan tangis kecewa.

***

Sepulang sekolah, hujan turun lebat. Beruntung tidak bersamaan dengan gunturnya. Aku takut pulang ke rumah, aku gak kuat melihat wajah kecewa orang tuaku.

Kuputuskan untuk berlari jauh, membelakangi jalur jalan pulang. Menuju sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai besar.

Aku sendiri, hanya ditemani rintik hujan yang membuatku merasa sedikit nyaman karena tak lagi menangis seorang diri. Kunaiki pagar jembatan. “Aku sudah tak pantas hidup”. Besitku sembari memejamkan mata.

Naura!, kamu ngapain disini nak!?, ayah masih sayang sama kamu Naura!”. Aku terjatuh pada arah yang berlawanan. Tepatnya diperlukan ayah. Entah bagaimana ini bisa terjadi. Aku hanya bisa memeluk erat dan menangis. “Ma’afin Naura yah..!!”. Aku menjerit tak kalah dengan suara deras hujan.

***

Apa rencanamu setelah ini ?”. Tanya ayah, kali ini dengan wajah cukup tenang bersanding dengan ibuku. Aku menunduk, duduk di sebuah sofa ruang tamu. “Naura akan gugurkan kandungan ini yah”. Jawabku terbata-bata. Ayah berdiri dari tempat duduknya, berjalan pelan membelakangi aku dan ibu. “Apakah tidak bertentangan dengan cita-citamu dulu?. Ingin menjadi dokter kandungan dan sekarang ingin menggugurkan kandungan”. Ayah menaruh kedua tangan nya dalam saku celana. Tatapannya mengerut seakan menerawang ke masa depan. “Bagini, ibu dan ayah punya cara untuk menyelamatkan masa depan dan bayi kamu”.

Kali ini, ibu yang angkat bicara. Kita kabarkan bahwa ibu sedang hamil dan akan liburan ke Bali selama satu tahun. Pulau Dewata, menjadi tempat persembunyian kandunganku. Aku cuti sekolah selama bersembunyi dan akan melanjutkan saat keadaan sudah membaik. Ini ide cemerlang Ayah.

Mengangguk pasrah adalah jawabanku. Meski aku tak bisa membayangkan bagaimana hidup dengan adik kandung yang sebenarnya dia adalah anakku.

beras