Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Air Mata Naura Part 1| Cerpen Abd Aziz

Air Mata Naura Part 1| Cerpen Abd Aziz



Namaku Naura Angelina, aku lahir di Surabaya dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh ibu dan ayah di kota pahlawan itu. Tejo Widyo Diningrat adalah nama ayahku yang tercatat di empat restoran besar di Jawa Timur sebagai pemiliknya. Ya !, bisa dibilang keluargaku adalah keluarga konglomerat. Namun, ayah dan ibu selalu mengajariku hidup sederhana dan kerja keras.

***

Naura…!, ini antarkan ke meja no 5 ya! Perintah ibuku halus. Setelah mengiyakan, aku pun melangkah gontai menyusuri lantai restoran milik ayahku sendiri. Sudah menjadi kebiasaanku, membantu ayah dan ibu dihari libur. Ini bu!, pesanannya! ” Bak seorang karyawan aku menghaturkan sepiring Veggie Burgers pada seorang ibu hamil yang duduk di meja no 5 seorang diri. “I… iya nak, te.. terima kasih! ” Sahutnya sedikit tersendat seakan menahan rasa sakit.

Ada rasa iba yang memaksaku menatap ibu itu dengan super teliti. “Ibu kenapa? ” Tanyaku yang justru tak mendapat jawaban. Ibu itu malah menjerit kesakitan. Membuat seisi restoran mengalihkan pandangan, termasuk ayah yang sedari tadi sibuk dengan komputernya di ruang kepala.

Kenapa?, kenapa?, ada apa? ” Setelah melewati kerumunan orang banyak, ayahku bertanya dengan panik. Dan setelah melihat ibu itu mengalami pendarahan, ayah dengan sigap menyuruh beberapa karyawannya untuk segera membawa ibu yang akan melahirkan itu. Keluargaku memutuskan menyusul. Sekedar untuk menemani ibu itu tersenyum saat bayinya telah menangis.

Wah bayinya cantik, kayak ibunya! “ Ucap bu dokter sebelum memberikan bayi kecil pada seorang wanita yang telah memperjuangkannya. Beban yang dibawa selama Sembilan bulan, perihnya saat melahirkan, seketika hilang tatkala ibu itu memandangi sang buah hati pada buayan pertamanya. Sejak saat itulah, aku memutuskan apa yang menjadi cita-citaku. Ya! Menjadi dokter kandungan, menyelamatkan ibu dan bayi. Double Job Double Happynes.

***

Naura..! disemester genap ini kamu harus ranking satu, titikSembari memasukkan berkas-berkas penting ke dalam tas kerjanya, ayah terus saja membrikan wejangan padaku. “Makanya, harus belajar yang rajin, kamu itu anak semata wayang, jadi!, Jangan sampai ngecewain ayah dan ibu. Paham Naura? ”. Wejangan hidup yang hampir setiap hari aku mendengarnya. “Iya yah…! ” Jawabku dengan sedikit senyuman yang ku buat-buat, sambil memasukkan beberapa pakaian ayah ke dalam koper.

Naura..! Ayah..! sudah belum beres-beresnya? ” Suara ibu menyusup ke beberapa ruang dalam rumah besarku, tak terkecuali kamar ayah. “Sarapannya sudah selesai!”. Imbuhnya dari kejauhan.

***

Ditengah makan, aku tak sengaja berceloteh. Emangnya ayah berapa lama di Jakarta ? kok bawa koper? Pasca celotehan kecil itu, aku bingung karena tanyaku tak dijawab ayah. Dan setelah  menerima tatapan sinis dari ibu, aku jadi teringat tentang wejangan ayah tempo hari. “Kalau makan gak boleh ngobrol ”.

Mungkin ayah 3 bulan di Jakarta, ayah baru bangun restoran baru di sana. Jadi.., e.. untuk tiga bulan kedepan ayah harus stand by di restoran itu”. Penjelasan ayah setelah kita bertiga ada di depan pintu rumah. Sesaat sebelum ayah masuk ke dalam mobil pribadinya. Suaranya terdengar berat, seakan memberi tahu bahwa ia sedang lelah dengan bisnisnya. Aku hanya terdiam, ku pandangi wajah ayah sepuas mungkin, untuk ku jadikan bekal kala kujalani hari tanpanya.

Tugas Naura hanya satu!, be-la-jar-yang-ra-jin ”. Untuk kesekian kalinya, ayah kembali mewejangku. “Oh iya, satu lagi!, Naura harus janji sama ayah, kalau Naura gak akan pacaran selama ada di bangku sekolah, khawatir belajarnya keganggu, janji…?? Ia berjongkok, memegangi kedua pundakku, dengan menatap penuh harap, ia melengkungkan jari kelingkingnya, mengajakku menyepakati. “Iya yah..!, Naura janji, Naura gak akan pacaran sebelum Naura jadi dokter ”. Ku kaitkan jari kelingking mungilku dengan jari kelingking ayah.

Janji, janji yang setiap hari aku ingat. Hingga aku bertemu dengan dia, jatuh cinta dan mengabaikan semua janji-janjiku. Itu adalah awal dari kehancuran dari hidupku. Dua tahun yang lalu, saat aku berumur delapan belas.

***

Dua garis biru, satu tanda inilah yang membuatku tak tahu arah untuk melangkah? Aku hamil,  bagaimana dengan cita-citaku? Bagaimana kalau ayah dan ibu tahu ? Apa yang harus aku lakukan ? Apa?.

***

Ryan ada yang harus kita omongin ! Kita ketemuan di cafe Copa-copi, Nanti malam ”. Tulisku dalam chat WhatsApp.

Ditengah beringai malam, dalam keberisikan cafe, aku berbisik dengan nada penuh takut. “Aku hamil Yanz..!!, gimana ini ? ”. Bisikku dengan Isak tangis.

Apa?, kamu..”. Sontak kututup mulutnya yang merespon kaget. “Kamu tahu dari mana kalau kamu hamil Naura ?? ”. Lanjutnya, kali ini setengah berbisik. Kujulurkan Test Puck yang terlukis Dua garis terang berwarna biru. Aku juga sudah periksa ke beberapa dokter kandungan, hasilnya sama ”. Rintihku berusaha meyakinkannya.

Sepersekian detik, tatapannya berubah kosong. Tangannya mengepal erat menjambak rambutnya. “Bayi itu gak boleh lahir Naura! ”. Lirihnya tajam menukik hatiku sebagai seorang ibu. “Kau harus gugurkan kandunganmu itu ”. Terdengar kejam. Namun, setelah aku merenung seorang diri, ternyata ucapan Ryan benar. Bayi ini gak boleh ada, aku masih dan harus membahagiakan kedua orang tuaku.

***

Seminggu berlalu, entah sudah berapa kali aku coba membunuh janin ini, namun nihil. Yanz..!, kamu kemana aja sih, aku bingung Yanz..” Kembali ku merintih padanya melalui telepon. Kamu yang sabar dong Naura..!, nanti kita cari jalan terbaiknya ”. Suaranya dari seberang. “Iya jalan terbaik gimana?, semua cara untuk menggugurkan kandungan sudah aku coba Yanz..! ”. “Nanti kita coba cara lain, kamu tenangin diri dulu ya! Naura.

Aku hanya takut, ayah dan ibu tahu kalau aku hamil Yanz..!! ”. Isak tangisku pecah malam itu. Dua detik setelah rintihanku tadi, terdengar suara benturan gelas dengan lantai kamarku. Ternyata itu ibu dengan nampan yang sudah tergeletak jatuh tak berdaya. Ibu pingsan, setelah mendengar putri semata wayangnya kini sudah tak suci lagi.

beras