Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

(Ilustrasi: PLTU Indramayu)

#G20, Mendorong Transisi Green Energy Melalui Co-Firing Biomassa pada Sektor Kelistrikan



Oleh: Munif Rodaim*


Penambahan biomassa pada bahan bakar batu bara atau cofiring biomassa, sejak tahun 2021 telah dilaksanakan dibeberapa PLTU Batubara di Indonesia. Pelaksanaan cofiring biomasa untuk PLTU ini merupakan bentuk komitmen PLN untuk mewujudkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 25 persen pada 2025. Hal ini telah diatur dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (RUPTL-PLN) tahun 2021-2030 yang disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021. Tentu target pemenuhan energi bersih oleh pemerintah ini patut diapresiasi positif sebagai upaya mitigasi terhadap dampak perubahan iklim.

Perubahan iklim menurut hemat saya masih akan menjadi isu strategis dalam KTT G-20 yang akan digelar di Bali pada November 2022 ini. Sebagai Presidensi G20 Indonesia berkesempatan untuk mendorong negara-negara anggota G-20 untuk mengimplementasikan green energy khususnya melalui penggunaan sumber energi biomasa ini untuk substitusi batubara.

Kenapa hal ini penting? Saat ini, posisi batubara sebagai sumber energi dunia masih menempati urutan ke-dua setelah minyak. Peran batubara memasok energi dunia ini sejalan dengan adanya peningkatan beberapa pembangunan pembangkit listrik di sejumlah negara. Tentunya ini akan berdampak pada pengrusakan alam dan pemicu percepatan perubahan iklim akibat adanya eksploitasi terhadap energi fosil ini. Masyarakat dunia kini perlu mencari solusi sumber energi alternatif yang terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Di Indonesia, implementasi untuk green energy ini dengan mengintensifkan substitusi batubara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ke biomasa. Beberapa PLTU Batubara telah melakukan uji coba co-firing biomassa ini. Biomasa yang diuji-cobakan tersebut adalah pellet sampah, pellet kayu (wood pellet), serpihan kayu (woodchip), cangkang sawit (palm kernel shell), serbuk gergaji (sawdust) dan sekam padi.

Jepang dan Korea merupakan negara yang telah menargetkan mengganti PLTU Batubara menjadi PLTU Energi Biomasa pada tahun 2030. Permintaan biomassa dari Indonesia terus meningkat meskipun nilai ekspornya baru mencapai US$ 50 juta. Untuk menyiapkan permintaan biomassa ini, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyatakan sedikitnya 34 perusahaan anggota APHI sudah berminat berinvestasi melalui Program Hutan Tanaman Energi (HTE). Ada 10 perusahaan yang sudah memasukkan tanaman untuk biomassa ini kedalam Rencana Kerja Usaha (RKU) mereka.

Untuk melihat uji coba cofiring biomassa ini, maka penulis melakukan pemantauan pada 3 lokasi PLTU yaitu PLTU Rembang, PLTU Adipala Cilacap dan PLTU Indramayu. Dari hasil kegiatan pemantauan, didapati beberapa tantangan dalam uji coba cofiring biomassa di PLTU ini. Pertama, harga biomasa wood pellet (pelet kayu) terlalu mahal dibanding harga batubara. Dalam prakteknya, PLTU memilih menggunakan sawdust (serbuk kayu campur) yang harganya lebih murah. Kedua, pemantau mendapati bahwa biomasa yang berasal dari kayu dan produk turunannya yang masuk ke PLTU belum terjamin legalitasnya. Legalitas dimaksud disini adalah sesuai dengan SK. Dirjen PHPL No. SK.62/PHPL/SET.5/KUM.1/12/2020 yang mengatur mengenai ragam produk hasil hutan kayu dan turunannya wajib menggunakan bahan baku dari sumber yang sah dan/atau lestari.

Menurut penulis, cofiring biomassa pada PLTU tentunya memerlukan dukungan regulasi/kebijakan terintegrasi. Pasokan biomasa harus terjaga dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Kuantitas pasokan biomasa harus terjaga dan terjamin. Diperlukan adanya skema bisnis dan rantai pasok biomasa yang tertata dengan baik dari hulu hingga hilir. Di hulu, pembukaan Hutan Tanaman Energi (HTE) harus melalui perencanaan yang baik sehingga HTE tidak menimbulkan dampak deforestasi pada kawasan hutan. Sedangkan di hilir, produk biomasa dari hasil hutan harus terjamin legal dan bertanggungjawab, serta dari hasil pengelolaan hutan yang lestari.

Dengan kesiapan tata kelola yang baik, biomasa untuk cofiring di PLTU bisa menjadi pilihan sumber energi yang ramah lingkungan pada sector kelistrikan. Tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga negara anggota G-20 lainnya. Pemanfaatan biomasa ini memang memerlukan adanya strategi khusus dalam tahapan pencapaiannya agar tidak membebani negara bersangkutan. Reward bagi negara yangmengimplementasikan biomasa merupakan agenda penting lainnya yang perlu dibahas dalam KTT G-20 kali ini. Dengan KTT G-20 di Bali merupakan kesempatan untuk pemulihan bumi dari ancaman kerusakan dan moment kebangkitan pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, “Recover Together, Recover Stronger”.

Sumber referensi dan data:

1. RUPTL-PLN Tahun 2021-2030, diakses dari sumber: https://web.pln.co.id/statics/uploads/2021/10/ruptl-2021-2030.pdf  

2. https://www.rimbawan.com/berita/hutan-tanaman-energi-masa-depan-energi-biomassa-indonesia-ok/  

3. Dokumentasi poto kegiatan pemantaun di 3 PLTU: https://drive.google.com/file/d/1g51pPzO4x-XbyIY43YJ_4UTQ6A4KSiy6/view?usp=sharing dan https://drive.google.com/file/d/19HcydKYsLqGJ7YgEVZuMJU6EWFuWdyqs/view?usp=sharing dan https://drive.google.com/file/d/1B-O63aTKT87fpHcdjHM1pB0-aDPkU2rx/view?usp=sharing

4. SK. Dirjen PHPL No. SK.62/PHPL/SET.5/KUM.1/12/2020 diakses dari sumber: https://silk.menlhk.go.id/app/Upload/hukum/20201228/69f0992a7c2860e652d0eaedac60b3ae.pdf

*Profil Penulis: Munif Rodaim, aktif di PPLH Mangkubumi dan anggota JPIK Jawa Timur.

beras