Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Politik Lato-lato Pemilu 2024
Ach Taufiqil Aziz, Dosen Institut Sains dan Teknologi Annuqayah.

Politik Lato-lato Pemilu 2024



Oleh: Ach Taufiqil Aziz*


Lato-lato viral. Nyaris tiap gang ada suara tek-tek yang dimainkan anak-anak. Lato-lato yang sebenarnya bermanfaat untuk mengalihkan kecanduan dari gadget ini ternyata juga ramai di media sosial. Konten kreator membagian trik, teknik dan segala parodinya. Bahkan Presiden Joko Widodo dan Ridwan Kamil saat sedang kunjungan kerja ke daerah juga terekam memainkan Lato-Lato.

Apa yang membuat Lato-lato digemari? Bisa jadi ini hanya soal trend permaian yang tergantung tingkat kebosanannya akan berganti lagi nanti. Karena jenis permainan ini bukan hal baru. Tapi seperti pengulangan atas yang terjadi bagi generasi kelahiran tahun 1990. Bedanya dulu tak ada media sosial. Kini semakin heboh saat sudah jadi konten di Tik-Tok dan Instagram. 

Soal bagaimana memainkannya sebenarnya hanya membutuhkan keseimbangan antara dua bulatan tersebut dengan gerakan tangan ke atas dan ke bawah. Ketika kita bisa bergerak seimbang dalam membenturkan antara satu dengan lainnya, maka akan menghasilkan bunyi yang ritmik. Tek-tek-tek. Dua bulatan itu tidak akan terbentur manakala keseimbangannya sudah tidak ada. 

Menanggapi ramainya Lato-lato, Habib Jakfar juga menggunakannya sebagai medium dakwah. Kira-kira begini pesannya; jangan mau dibenturkan, biar kita tidak jadi mainan. Pesan ini tampak sederhana dan biasa saja. Tetapi bila dikontekskan dengan tahapan Pemilu 2024 nanti, bagi saya pesan ini masuk ke hati dan tepat.

Dari tahun 2023 hingga nanti 2024, kita telah memasuki tahun politik. Pemilu tidak bisa hanya dimaknai datang ke bilik suara dan menentukan pilihan saja. Jauh sebelum itu akan terjadi tarung bebas antar peserta.

Kita akan memilih secara bersamaan 5 kotak suara. Mulai dari presiden dan wakil presiden, dewan perwakilan daerah, calon anggota legislatif dari tingkat DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi dan RI. Semuanya secara bersamaan. Tahapannya kini sedang berjalan. 

Pada tahun 2023 ini Partai-partai akan mencari koalisi untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dengan Presidential Threshold 20 %. Para bakal calon DPD mencari dukungan ribuan suara sebagai syarat bisa maju lewat jalur perseorangan. Kemudian calon anggota legislatif akan megerakkan tenaga semaksimal mungkin di tengah sistem proporsional terbuka. Pertarungan sebenarnya adalah mengalahkan lawan di internal partai untuk merebut kursi.

Pemilu adalah soal benturan kepentingan. Semuanya ingin menang dan akan merebut jabatan dengan seperangkat alasan. Cuma masalahnya apakah benturan itu akan terkelola dengan baik sebagaimana Lato-lato yang menimbulkan bunyi tek-tek-tek yang bagus atau hanya mengenai tangan pemiliknya yang akan meninggalkan rasa sakit?. 

Inilah pentingnya bagi kita semua untuk mengelola kepentingan dengan baik. Kita bisa berteriak di atas mimbar kepada para peserta untuk bertarung secara ksatria. Tak perlu saling menikam dari belakang dan tak usah picik dalam memperebutkan jabatan. 

Tapi teriakan model begini kadang ramai dalam kesunyian. Diteriakkan dengan cara apapun tetap tak terdengar oleh orang yang sedang mencari suara dan angka. Tidak seperti Lato-lato yang kadang bunyinya selalu kita dengar di setiap gang. 

Pengalaman kita di Pemilu 2019 lalu sudah cukup menjadi bahan belajar bagi kita. Benturan-benturan selalu ramai di media sosial. Hoaks diolah sedemikian rupa agar kita saling curiga. Ujaran kebencian tanpa sadar terus direproduksi untuk mematikan lawan yang pada akhirnya berbahaya bagi kebhinekaan.

Dan kita adalah rakyat kecil yang berpotensi akan jadi objek permainan baru jelang Pemilu 2024. Pesan moral dari Habib Jakfar di konten lainnya dengan menggunakan Lato-lato adalah bahwa tugas seorang muslim mendamaikan yang sedang berbenturkan. Bukan membenturkan yang lagi damai. 

Kita sebagai rakyat semestinya semakin pintar dan mulai memiliki seperangkat kesadaran. Bukan hanya karena telah banyak sarjana dan orang berpendidikan. Tapi kata Gus Im, karena kita terlalu sering ditipu. Bahkan oleh kawan sendiri.

beras