Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Jokowi End Game
Foto: Ilustrasi: Edi Wahyono. (Dok. Foto: Detik.com)

Jokowi End Game



Oleh: Sastra Dinata (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember)

Pandemi Covid-19 di Indonesia terus mengalami lonjakan yang begitu besar pada gelombang kedua. Konon dalam banyak persepsi di masyarakat gelombang pandemi Covid-19 gelombang kedua ini seakan lebih menakutkan daripada gelombang pertama di awal kemunculannya. Sampai pada akhirnya muncul kembali istilah “Jaman Pagebluk” dengan berbagai respon beragam dari masyarakat mulai dari membakar api di depan rumah, membaca shalawat dan lain sebagainya. Ketakutan tersebut mungkin saja sangat berdasar jika melihat data dari Satgas Covid-19 yang menunjukan bahwa per Kamis 31 Juli 2021, terdapat penambahan kasus Covid-19 sebanyak 37.284 berbanding 39.372 yang dinyatakan sembuh dan 1.808 orang yang dinyatakan meninggal dunia. Data yang diambil kurun selama 24 jam tersebut menunjukan bahwa betapa lonjakan kasus Covid-19 masih begitu besar terutama pada Pulau Jawa dan Bali.

Pemerintah melalui Satgas Penanganan Covid-19 telah melakukan berbagai upaya melalui kebijakan PPKM yang masih diterapkan hingga 2 Agustus 2021 agar dapat menekan angka lonjakan kasus Covid-19. Melalui kebijakan PPKM Darurat tersebut yang senyatanya telah diterapkan dari tanggal 3 Juli 2021, nampaknya masih belum mampu menekan lonjakan kasus tersebut. Padahal berbagai penegakan hukum yang telah dilakukan aparat pemerintah melalui pengetatan kegiatan masyarakat yang dalam faktanya juga masih banyak terdapat penolakan dan mengandung pro dan kontra di masyarakat. Pengetatan tersebut sebagaimana pada kebijakan-kebijakan sebelumnya berfokus pada pembatasan-pembatasan yang menyentuh aspek-aspek mendasar masyarakat seperti aspek ekonomi, sosial dan sebagainya.

Pro kontra tersebut memang sangat wajar muncul sebagaimana pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang lain. Hal tersebut berangkat pada persoalan ekonomi masyarakat yang kian terpuruk. Pemerintah dianggap tidak melihat konteks lain dalam penanganan Covid-19 yang juga dianggap sebagai persoalan mendasar masyarakat.

Dilema Kebijakan : Kesehatan atau Ekonomi ?

Pada perkembangan penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia setidaknya telah mengeluarkan berbagai kebijakan dengan berbagai variannya. Kebijakan tersebut dalam perspektif penulis hingga hari ini belum mencapai satu kesimpulan utuh tentang penanganan pandemi Covid-19, dalam arti bahwa berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah sejauh ini masih belum menunjukan visi besarnya.

Katakanlah bahwa dalam setiap kebijakan, pemerintah tentunya berangkat pada politik hukum pembentukan kebijakan tersebut yang muaranya kebijakan tersebut harus bersifat populis. Terbukti banyaknya penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menandakan bahwa terdapat ketidakjelasan visi kebijakan pemerintah.

Ketidakjelasan kebijakan tersebut sangat mungkin berangkat dari kebingungan pemerintah dalam melihat aspek mendasar masyarakat yakni aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Jika ditelisik lebih jauh, pandangan tersebut memang sangat wajar bila melihat dari inkonsistensi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebut saja dibubarkannya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diganti menjadi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, wacana new normal yang dikonotasikan dengan slogan “Berdamai dengan Corona” hingga penunjukan tokoh yang berorientasi pada ekonomi dalam hal penanganan Covid-19 menjadikan berbagai kebijakan tersebut menuai pro dan kontra.

Dalih pemerintah sebagaimana disebutkan oleh seskab Pramono Anung, bahwa inkonsistensi kebijakan tersebut berangkat dari pelajaran di berbagai negara yang terlalu fokus pada penanganan kesehatan tapi menimbulkan persoalan yang lain seperti persoalan ekonomi. Padahal jika dibandingkan dengan China melalui langkah kebijakan lockdown total nya, mereka mampu mengatasi Covid-19 dalam hitungan bulan tentunya melalui penegakan hukum yang ketat selain ditunjang dengan penyediaan alat tes, penentuan parameter penularan dan penepisan (skrining) serta perawatan intensif pasien.

Dalam hal ekonomi, China mampu bangkit, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pembukaan pabrik dan manufakturnya secara perlahan yang disinyalir sebagai faktor penunjang perekonomian China selama ini. Menurut Xiao Qian Dubes China untuk Indonesia, keberhasilan China dalam menangani pandemi Covid-19 juga tidak dapat dilepaskan dari kepemipinan Xi Jinping yang mampu menyatukan seluruh rakyat China untuk solid dalam memerangi pandemi.

Dilema kebijakan yang mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam menangani pandemi di Indonesia perlu untuk kemudian diuraikan lebih jauh. Menurut penulis, bahwa penanganan pandemi seperti saat ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengakomodiran aspek ekonomi dan hak asasi manusia. Hal tersebut bersandar pada Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang diratifikasi dalam UU Nomor 11 Tahun 2005, dalam kovenan internasional tersebut dapat diambil maksud bahwa hak kesehatan dan hak ekonomi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagaiman hak asasi yang memiliki prinsip tak terbagi, saling bergantung, terikat dan tidak dapat dicabut. 

Sederhananya bahwa hak kesehatan dengan hak ekonomi tidak dapat dibenturkan satu sama lain. Demikian juga dengan semangat yang terkandung didalam UU No.6 Tahun 2018, yang berlandasakan pada pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat dalam hal penerapan kekarantinaan. Artinya bahwa menjadi sah saja ketika pemerintah menerapkan lockdown, PSBB, PPKM dan lain sebagainya selama pemerintah mampu menjalankan kewajibannya untuk memastikan kebutuhan mendasar masyarakat terpenuhi.

Penjelasan sebelumnya memang menunjukan bahwa pemerintah telah berupaya mengakomodir kedua aspek dalam penanganan pandemi Covid-19, namun perlu dipahami lagi bahwa kebijakan akan tidak berarti bilamana tidak diiringi dengan penegakan hukum yang tepat. Seperti contoh, kebijakan bansos, BLT-DD dan lain sebagainya pada akhirnya tidak mampu menjadi jawaban atas keluh kesah yang dialami masyarakat selama ini. Ketidakpuasan masyarakat tersebut dilatarbelakangi dari banyaknya penerima bantuan yang tidak tepat sasaran serta keterlambatan pencairan bantuan BLT-DD. Ditambah dengan munculnya korupsi dana bansos oleh anggota DPR. 

Pada persoalan lain ditemukan banyak sekali tindakan represif aparat penegak hukum yang sewenang-wenang dalam menerapkan kebijakan sekalipun pemerintah telah mengingatkan penegakan kebijakan yang lebih humanis.

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah sudah selayaknya membentuk kebijakan yang mampu mengakomodir semua aspek mendasar masyarakat tentunya disertai dengan pendekatan yang jauh lebih mengepankan langkah humanis. Pemerintah tidak dapat lagi kemudian membentuk kebijakan yang bahkan hanya mementingkan satu aspek bahkan cenderung menggunakan kewenangannya untuk melegitimasi kebijakannya.

Penambahan anggaran untuk masyarakat terdampak, pendataan yang akurat, penertiban masyarakat yang melanggar harus jauh lebih tegas dan humanis, insentif bagi para pekerja seperti buruh dan pedagang menjadi contoh bahwa langkah-langkah tersebut harus segara mungkin direalisasikan agar penanganan pandemi Covid-19 dapat segera teratasi dan agar tidak menimbulkan berbagai lagi polemik di masyarakat.

Langkah nyata sebagai faktor penunjang berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga menjadi satu pembuktian pemerintah bahwa Indonesia mampu melewati masa pandemi ini. Pembuktian bagi pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, juga sekaligus menjadi jawaban atas segala kritikan tajam yang dialamatkan kepadanya dan menjadi jawaban atas turunnya kepercayaan masyarakat dalam hal keseriusan Jokowi menangani pandemi Covid-19 ini.
 
Krisis Kepercayaan Masyarakat kepada Jokowi

Seruan aksi yang bertajuk Jokowi End Game akhir-akhir ini ramai menyeruak di lini masa media sosial. Seruan aksi tersebut disinyalir akan dilakukan pada Sabtu, 24 Juli 2021 yang ditujukan untuk menuntut Jokowi mundur. Sejauh informasi yang didapat, aksi tersebut belum diketahui dimotori oleh siapa.

Namun seruan tersebut setidaknya menunjukan bahwa terdapat wacana besar tentang koreksi masyarakat atas kinerja Jokowi terkhusus dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal tersebut menjadi amat wajar karena dalam perjalanan menjabat di periode keduanya, Jokowi acapkali dikritik melalui kebijakan yang sering dikeluarkan. Sebut saja UU Omnibus Law, Isu pelemahan KPK, korupsi dana bansos hingga kebijakan penanganan Covid-19 yang sering dianggap tidak efektif.

Krisis kepercayaan yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi sejatinya telah lama diamanati oleh berbagai pengamat. Menurut Lingkaran Survei Indonesia, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi turun dari 56,5 persen menjadi 43 persen selama 4 bulan terakhir.

Angka tersebut menjadi angka terendah tingkat kepercayaan masyarakat kepada Jokowi. Penurunan tingkat kepercayaan tersebut terjadi semenjak September 2020 hingga sekarang. Pun demikian dalam hal penanganan pandemi Covid-19, tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi naik menjadi 22,6 persen. Data tersebut menjadi satu koreksi atas kinerja yang dilakukan Jokowi dalam menangani pandemi saat ini.

Krisis kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi terutama dalam hal penanganan Covid-19 sangat mungkin dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan Jokowi dalam menerapkan suatu kebijakan sebagaiman telah disebutkan sebelumnya. Selain itu minimnya Jokowi dalam mengambil peran sentral sebagai komando utama penanganan Covid-19 juga menjadi suatu hal yang masih menjadi perdebatan. Setidaknya dalam hal penanganan Covid-19, Jokowi acapkali menunjuk para menterinya untuk menjadi komando penanganan Covid-19 sebut saja Doni Monardo yang ditugaskan menjadi ketua satgas Covid-19, Airlangga Hartarto yang ditugaskan menjadi ketua Komite Penanganan Covid-19 dan PEN serta Luhut Panjaitan yang ditugaskan mengomandoi PPKM Darurat  menjadi bukti nyata bahwa Jokowi belum terlibat secara nyata yang mampu ditangkap oleh masyarakat. Padahal situasi pandemi Covid-19 ini merupakan isu yang sangat sentral di berbagai lapisan masyarakat.

Margaret O’Mara, seorang professor sejarah dari University Of Washington sebagaimana dikutip oleh Pinter Politik dalam tajuk “Dimana Jokowi ?” menyatakan bahwa pandemi Covid-19 menjadikan pemerintah mudah terlihat oleh masyarakat daripada biasanya. Artinya bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi satu alasan kuat bagi masyarakat untuk dapat menilai kinerja pemerintah lebih intens dari biasanya tentunya melalui kebijakan dan sosok kepemimpinan yang ideal. Sehingga sudah semestinya Jokowi sebagai Presiden Indonesia mampu menjadi komando utama dalam penanganan Covid-19 seperti halnya yang dilakukan oleh berbagai pemimpin negara lainnya agar stigma kepemimpinan ideal di masa darurat seperti ini mampu dijawab oleh Jokowi.

Kepemimpinan Jokowi di masa pandemi saat ini memang sering kali mengundang perhatian dari masyarakat. Penunjukan para menterinya sebagai komando penanganan Covid-19 apakah memang telah menjadi satu ciri gaya kepemimpinan yang bangun oleh Jokowi agar terkesan menjadi pemimpin yang mampu membangun kinerja kolektif di kabinetnya dalam istilah lain gaya kepemimpinan autopilot (kendali otomatis).

Gaya kepemimpinan autopilot memang sering kali digunakan oleh berbagai pemimpin negara untuk memimpin sebuah negara. Namun perlu disadari bahwa gaya kepemimpinan semacam ini tidak serta merta dapat dijadikan alasan agar tidak lepas dari tanggungjawab utamanya sebagai seorang pemimpin negara. Perlu disadari bahwa gaya kepemimpinan semacam ini sangat layak ketika memang hanya pada persoalan biasa katakanlah kebijakan yang menyangkut nawacita presiden.

Namun dalam konteks kondisi darurat seperti pandemi Covid-19 sudah selayaknya seorang Presiden mampu mengambil kontrol penuhnya untuk menjalankan kebijakan yang dapat mengatasi kondisi darurat tersebut. Sehingga gaya kepemimpinan autopilot yang sangat “mungkin” sedang diterapkan oleh Jokowi tidaklah tepat untuk situasi saat ini. Apalagi pada faktanya bahwa dengan ditunjuk nya seorang menteri menjadi komando dalam menangani pandemi Covid-19 lantas juga tidak kunjung mencapai keberhasilan yang “memuaskan”.

Selain itu, sudah semestinya juga Presiden Jokowi menunjukan kebeperpihak nya yang kuat untuk “mempengaruhi” berbagai kebijakan yang diterapkan secara utuh. Keberpihakan yang dimaksud adalah memastikan segala bentuk tujuan kebijakan tersebut harus mampu mengakomodir semua aspek mendasar masyarakat sebagai bagian dari mandat yang diberikan oleh masyarakat Indonesia.

Apalagi dengan periode keduanya sebagai Presiden, sudah semestinya Jokowi menunjukan legitimasi utuhnya sebagai pemimpin sebuah negara tanpa mementingkan kelompok tertentu dibelakangnya bukan lagi harus berlindung dari aktor-aktor disekitarnya. Setidaknya Jokowi harus bersifat berani dan mampu memanfaatkan kesempatan untuk menarik kembali kepercayaan masyarakat tanpa takut tergerus reputasinya.

Berkaca pada tulisan Political Legacies : Understanding Their Significance to Contemporary Political debates, seorang pemimpin ataupun politisi memiliki kecenderungan untuk meninggalkan legasi yang baik dan mampu bertahan lama, artinya bahwa legasi tersebut akan menjadi ingatan masyarakat untuk mempengaruhi perdebatan soal kebijakan di masa yang akan datang. Sehingga sudah selayaknya Jokowi harus mampu mengatasi pandemi ini dengan baik agar legasinya dapat menjadi satu kebanggaan di masa yang akan datang.
 
 
Sumber :
Pinter Politik. 2021. “Dimana Jokowi ?”. https://www.pinterpolitik.com/in-depth/di-mana-jokowi?amp=true. Diakses pada 27 Juli 2021 pukul 23.00 WIB.
Guritno, Tatang. 2021. “Update 29 Juli : Ada 554.484 Kasus Aktif Covid-19 di Indonesia”. https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/07/29/18082661/update-29-juli-ada-554484-kasus-aktifcovid-19-di-indonesia”. Diakses pada 30 Juli 2021 pukul 14.05 WIB.
Fong, Christian, Neil Malhotra dan Yotam Margalit. 2019. “Policial Legacies : Understanding Their Significance to Contemporary Policial Debates”. Policial Science & Politics. 53 (3) : 451-456.
 

beras