Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mengkritisi Nalar Dosen Pro Panji Gumilang
Mashur Imam

Mengkritisi Nalar Dosen Pro Panji Gumilang



Oleh: Mashur Imam*


Akhir-akhir ini, pengasuh dan pendiri Pesantren Al Zaytun cukup menghangatkan dunia persilatan kontestasi wacana agama di Indonesia. Panji Gumilang, namanya. Ia sebenarnya alumni salah satu pesantren modern yang sudah masyhur di Kabupaten Ponorogo, Darussalam Gontor.

Sebagai jebolan pendidikan pesantren modern, pemikirannya cukup rasional dan dari beberapa sisi, tampak reformis. Bayangkan saja, dia mengaku tidak mengikuti mazhab tertentu dalam Islam. Ia menciptakan mazhab sendiri dengan berdasar pada gagasan presiden pertama di Indonesia.

Ia menyebutnya sebagai “mazhab Soekarno”. Keren, kan? Sebab sebelumnya tidak ada satu pakar pun yang memasukkan bapak proklamator kemerdekaan Indonesia sebagai pemikir fiqh, apalagi pendiri mazhab.

Saat ini, hanya Si Panji (Saya menulis “Si”, sebab kayaknya panggilan “Syekh” masih kontroversi). Di antara dinamika kelompok dialektika fiqh tradisional, mungkin dialah pakar fiqh era paling modern saat ini. Kalau boleh, saya menyebutnya si Panji Milenial (sosok transformatif imajiner dari Panji Milenium).

Yang aneh, gagasan rasional kreatifnya (atau, boleh kalau disebut ide nakal), didukung oleh para pakar yang berasal dari kelompok akademisi. Diantaranya, yang berasal dari sejumlah dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Kalau tidak salah, dua nama yang sering muncul di TV, Helmi Hidayat dan Ahmad Sudirman Abbas. Walaupun hanya dua orang, tapi mereka cukup menjadi perwakilan gagasan orang-orang akademisi yang pro si Panji. Bahkan ada yang secara terang-terangan, mengaku mendukung dan dekat dengan Si Panji.

Lebih rincinya, tulisan ini mencoba menelusuri nalar dua dosen ini. Saya awali dengan membahas nalar pemikiran si Helmi Hidayat. Sebelum menganalisis komentarnya di sebuah stasion televisi, saya coba dalami beberapa karyanya yang pernah diterbitkan. Sebagai dosen Dakwah UIN Syarif, ia banyak menulis tentang wacana-wacana keislaman. Mulai dari isu moderasi agama hingga pengaruh pemberitaan Deddy Corbuzier.

Sebenarnya dia bukan pemerhati fiqh, namun lebih terlihat sebagai pakar komunikasi dan Dakwah Islam. Tidak heran, saat berdebat dengan MUI, wacana yang dikemukakan sangat dangkal dan bahkan tidak ada hubungan dengan dinamika keilmuan fiqh.

Tak seimbang dan searah dengan wacana dikembangkan oleh KH Cholil Nafis, sebagai pakar MUI. Wacana yang dikemukakan tentang kebebasan dalam menyampaikan pendapat Agama. Komentar ini sebenarnya lebih terlihat sebagai pakar komunikasi.

Jadi, jelas tidak masuk dalam dinamika kontestasi fiqh. Apalagi berkaitan tentang mazhab. Mazhab itu memiliki konsensus hukum. Hukum itu mengikat. Berpendapat boleh, tapi dialektika gagasan yang mendasari hukum harus diadu. Pendapat terkuat akan mengikat.

Argumentasi kebebasan beragama yang disampaikan si Helmi, berada pada ranah etika proses perumusan hukum. Bukan dinamika idea yang nantinya menjadi dasar hukum. Hal ini yang membuat saya menilai bahwa wacananya tidak masuk dalam dinamika nalar fiqh yang saat ini menjadi masalah utama Si Panji.

Fiqh berbicara dasar dan penentuan hukum. Sedangkan gairah kebebasan argumentasi agama lahir dalam dinamika etika proses perumusannya. Contoh sederhananya, ada orang yang mengatakan merokok itu haram, lalu ada juga yang mengatakan halal. Dua kelompok ini saling beradu dasar dan dalil (melakukan dialektika). Tiba- tiba, ada si Fulan menyela pembicaraan, dengan mengatakan. “semua pendapat dihargai dan dihormati. tidak usah bersengkata.”

Tentu dua kelompok berbeda dalil dan argumen tadi, akan berhenti berdialektika. Artinya, hukum rokok tidak akan jelas, sebab dialektika penentuannya tidak terjadi. Lantas, apakah si Fulan yang menyela dialektika tadi merupakan pakar hukum rokok? Tentu jawabannya tidak, dia sebenarnya ahli komunikasi saja. Kira-kira demikian, posisi si Helmi dalam kontestasi wacana agama yang terjadi dewasa ini. Dengan kata lain, pendapat dosen UIN Syarif yang satu ini tak penting untuk dibahas.

Selanjutnya, mari bahas nalar dosen kedua yang mendukung gagasan si Panji. Namanya, Ahmad Sudiman Abbas. Sosok ini berbeda dengan dosen sebelumnya, ia mengaku ahli fiqh. Setelah ditelusuri profil akademisinya, memang demikian. Ia adalah dosen Fakultas Syari’ah di kampus yang sama dengan si Helmi.

Sepanjang penelusuran karya-karyanya, sebenarnya saya sangat takjub. Selain menulis tentang “Sejarah Qawaid Fiqiyah”, ia juga banyak merasionalkan tradisi agama, dan ritual-ritual keagamaan. Gagasan dalam buku-bukunya lumayan menarik. Tercatat, ia pernah menulis buku bersama Fachruddin Mangunjaya, Tokoh Konservasi Alam. Gagasan dalam buku tersebut berupaya menggali tradisi Islam demi penguatan nilai dan kesadaran ekologis manusia.

Selain itu, ia bahkan pernah berupaya merasionalkan sholat tahajjud. Gagasan ini ditulis dalam buku yang berjudul “The Power Of Tahajud”. Jadi sebagai seorang yang mengaku pakar fiqh, tampaknya dia memiliki nalar rasional.

Wacananya tentu cukup baik dari pada dosen pertama tadi. Dia tampaknya “agak” memahami kaidah Ushul Fiqh. Ya maklum, selain penulis buku tentang ushul fiqh, di juga tercatat sebagai dosen dalam jurusan perbandingan mazhab. Cukup mengherankan, di tengah kemelut gagasan si Panji Milineal, ia datang sebagai pihak yang pro. Bahkan bukan hanya pro secara ide, ia mengaku juga masuk dalam jajaran pendidik sekaligus jema’ah pesantren si Panji.

Kemunculannya tidak dapat dipungkiri, berpengaruh besar pada kontestasi wacana agama yang terjadi. Apalagi saat berdebat, ia merinci secara rasional dalil agama yang mendasari argumentasinya sebagai pihak yang pro.

Apakah nalar argumentasinya baik? Tentu tidak juga. Walaupun saat debat di salah satu stasiun TV, ia pandai berdalil karena memang mempersiap catatan dan kitab-kitab. Namun, bukan berarti wacananya reformis dan baik dalam dinamika ilmu fiqh. Misal, dalam membela perkataan Si Panji yang mengatakan bahwa qoulu rasulullah fi qur’an. Untuk membenarkan wacana tersebut, ia memakai sejumlah dalil dalam Al Qur’an, salah satunya al Najm ayat 3 hingga 4.

Benar memang, ayat ini adalah salah satu dalil yang dibahas oleh para ulama’ dalam kontroversi pemikiran tentang hubungan teks Al Qur’an sebagai dzat Allah. Akan tetapi, hal demikian telah selesai diperdebatkan. Mayoritas ulama’ telah menyepakati bahwa Qur’an merupakan wahyu lafdhan wa ma’nan.

Artinya, perkataan yang terdiri dari huruf, juga merupakan wahyu atau perkataan Allah. Masalah demikian sebenarnya telah ada dalam dinamika perdebatan ulama’-ulama’ tauhid era tradisional. Jadi bukan perdebatan fiqh kontemporer. Jadi kalau wacana si Abbas dianggap baik, tentu tidak. Itu tidak lebih dari menghidupkan kembali pertentangan kuno yang telah selesai diurai.

Apakah si Abbas paham tentang dinamika fiqh?, tampaknya juga tidak tentu. Kalau dia paham, dalil yang dikemukakannya bukan ayat-ayat yang malah membuat pendapatnya lemah. Misalnya, surat al Najm (3-4) dan surat Al Haqqo (40-43) telah diyakini oleh para ulama’ tafsir sebagai penjelasan bahwa Qur’an adalah “perkataan Allah” yang dibacakan atau diturunkan pada Nabi.

Nah, seharusnya sebagai dosen perbandingan mazhab, mengikuti dinamika perkembangan pemikiran mufasir lain, seperti Syaikh Shalih bin Abdullah bin Humaid dalam (Tafsir Al- Mukhtashar), Syaikh Muhammad Sulaiman Al Asyqar (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir), Syaikh Wahbah az-Zuhaili (Tafsir Al-Wajiz), Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (Tafsir al Sa’idi), Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi (An-Nafahat Al-Makkiyah) dan masih banyak yang lain.

Para mufasir sepakat ayat tersebut menegaskan ayat Qur’an, lafdhan wa ma’nan adalah wahyu Allah SWT. Masak pakar fiqh tidak memahami pendapat demikian.

Kalau memang tidak, terus apa yang dibaca? Kalau tidak ada, saya ingin bantu mengingatkan. Dilihat dari gairah pemikiran yang dimunculkan oleh Si Abbas ini, tampak hampir mirip dengan ulama’ Mu’tazilah. Mereka percaya bahwa Qur’an secara lafadh bukan kalam Allah. Di awal, gagasan kelompok ini dianggap masuk akal, namun pada akhirnya punah sebab rasionalitasnya melemahkan efektivitas hukum Islam.

Hal demikian yang membuat pemikiran ini lemah dan bahkan lenyap. Pada perkembangannya, ada tokoh reformis yang menghadirkan kembali, salah satunya, Nasr Hamid Abu Zayd. Kalau di Indonesia, pernah banyak diperkenalkan dalam tokoh kelompok JIL, sepeti Lutfi As Saukani dan semacamnya. Cobalah baca karya-karya mereka, biar tidak salah ngutap- ngutip ayat.

Pada intinya, seluruh dosen, atau saya sebut ulama’ (sebab konteks masalah kontestasi pemikiran agama) yang pro Panji Milenial, tampak tidak cukup mumpuni dan rasional. Wacana yang dimainkan sangat lemah sebagai dasar rasionalitas hukum Islam. Walaupun kehadiran mereka (entah dihadirkan atau hadir sendiri) dari kalangan akademisi, ternyata tidak cukup baik dalam melakukan dialektika hukum Islam.

Padahal fenomena kontroversi agama si Panji, bisa mencerdaskan atau menjadi jalan peradaban berkualitas, apabila dialektika wacananya juga berkualitas. Namun jika tidak, sebagai ummat Islam yang merindukan peradaban baik, mungkin lebih pada mual dan kesal menyaksikan dinamika ini.

Biografi Penulis


Mashur Imam, Penanggung Jawab Komunitas Kajian-Penelitian Dar Al-Falasifah, Pengurus LAKPESDAM PCNU Jember dan Alumnus Pascasarjana UIN KHAS Jember.

beras