Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Periodisasi Masa Jabatan Kepala Desa Perspektif Hukum Tata Negara
Alfin Rahardian Sofyan.

Periodisasi Masa Jabatan Kepala Desa Perspektif Hukum Tata Negara



Kolom – Pemerintahan desa masuk sebagai bagian dari pemerintahan eksekutif dalam perspektif hukum tata negara yang secara spesifik dapat dimasukkan sebagai kekuasaan pemerintahan daerah (local government). Sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Desa, pada Pasal 1 ayat (2) bahwa, “Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Ketentuan ini kemudian diikuti dengan Pasal 1 ayat (3) yang menjelaskan bahwa, “Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.” Dengan demikian, kewenangan eksekutif tertinggi desa dipegang oleh seorang pejabat pemerintahan yang disebut sebagai Kepala Desa. 

Kedudukan Pemerintahan Desa merupakan dasar yang paling bawah dalam kekuasaan administrasi pada struktur pemerintahan, maka secara umum ketentuan kekuasaan yang dimaksud tidak dapat dipisahkan dari prinsip pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu tidak hanya dimaksudkan dalam perihal masa jabatan, namun juga dalam hal periodisasi masa jabatan. Bagaimanapun tidak hanya semata ditujukan dalam rangka membuka kesempatan terjadinya alih generasi kepemimpinan di tingkat desa, melainkan juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan cenderung adanya suatu korupsi yang absolut pada kekuasaan (power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely). Pembatasan kekuasaan di tingkat desa ini pun pada gilirannya diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun ketentuan seputar masa jabatan Kepala Desa dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Sejarah panjang Undang-Undang mengenai Jabatan pada Pemerintahan Desa terutama Kepala Desa dimulai setidaknya dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pembentuk undang-undang telah mengatur pembatasan masa jabatan dan periodisasi masa jabatan kepala desa. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pengaturan masa jabatan kepala desa adalah 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Artinya, seseorang hanya dapat menjadi kepala desa maksimal 2 (dua) periode dengan total masa jabatan seorang kepala desa maksimal adalah 16 (enam belas) tahun.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan perkembangan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dalam hal masa jabatan, Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja hanya mengatur masa jabatan kepala desa paling lama 8 (delapan) tahun, tanpa diikuti dengan ketentuan dapat dipilih kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kemudian, pengaturan itu pun berlanjut melalui hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana berdasarkan Pasal 96 norma a quo menyatakan, “masa jabatan kepala desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan”. Ketentuan itu dilengkapi bagian penjelasan Pasal 96 norma a quo yang berbunyi, “Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat”.

Kemudian, hadirnya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di mana melalui Pasal 204 norma a quo menegaskan bahwa, “Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Dari norma a quo targambarkan bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa diatur selama 6 (enam) tahun dan maksimal dua kali periode masa jabatan atau tidak melebihi waktu 12 (dua belas) tahun. Seperti diketahui, ketentuan Pasal 204 a quo dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan peraturan daerah sebagaimana yang ditekankan dalam bagian Penjelasan Pasal 204 norma a quo. Sejarah pengaturan jabatan kepala desa itu kemudian diatur terpisah oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana akhirnya diatur dalam Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tak berbeda halnya dengan ketentuan Undang-Undang sebelumnya, ketentuan Undang-Undang Desa ini pun memuat pembatasan masa jabatan dan periodisasi masa jabatan kepala desa tepatnya pada Pasal 39 ayat (2). Seperti diketahui, di dalam Pasal 39 ayat (1) dan (2) a quo menjelaskan bahwa masa jabatan kepala desa ialah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan di mana secara periodisasi masa jabatan yang dimaksud yakni paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Adanya perubahan periodisasi masa jabatan kepala desa dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diatur terpisah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai Undang-Undang yang tersendiri. Jika pada Undang-Undang sebelumnya periodisasinya ditentukan tidak lebih dari 12 (dua belas) tahun, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, periodisasi masa jabatan kepala desa dapat diemban selama 18 (delapan belas) tahun. Namun, ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sesungguhnya tak dapat dilepaskan dari hadirnya ketentuan yang terdapat di bagian Penjelasan Pasal 39 a quo. Penjelasan Pasal 39 a quo berbunyi:

Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan.

Adapun ketentuan seputar Pasal 39 dan bagian penjelasan a quo ini rupanya di kemudian dinilai menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum. Melalui permohonan uji materi bertanggal 29 Juli 2021 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 30 Juli 2021 yang dimana Nedi Suwiran selaku pemohon menyatakan bahwa Pasal 39 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 39 a quo dinyatakan belum memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Selanjutnya, sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi a quo, majelis hakim pun akhirnya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, dan menyatakan Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.

Sehingga Penjelasan Pasal 39 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) yang semula berbunyi “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” menjadi selengkapnya berbunyi “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode.

Pengaturan pembatasan periodisasi masa jabatan Kepala Desa hingga 3 (tiga) periode layak dinilai dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan sangat kontras perbedaan yang ada terutama pada Undang-Undang sebelumnya yang hanya mengatur 2 (dua) periode. Selain itu, periodisasi masa jabatan Kepala Desa juga amat kontras dengan pengaturan periodisasi masa jabatan pada Kepala Daerah bahkan dengan Presiden sekalipun. 

Seharusnya, pengaturan periodisasi masa jabatan antara Kepala Desa ialah mengikuti ketentuan pada Kepala Daerah dan Presiden yakni 2 (dua) periode sebab memuat filosofi dan prinsip yang sama sebagai pejabat pemerintahan eksekutif sesuai juga dengan ketentuan hukum tata negara dan struktrur pemerintahan agar saling sesuai karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, pengaturan Kepala Desa dapat menjabat hingga 3 (tiga) periode secara berturut-turut atau tidak berturut-turut dinilai terlampau lama, tidak berdasarkan semangat konstitusi dan tidak sesuai dengan arah politik hukum dalam UUD 1945.

Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 42/PUU-XIX/2021 yang memutus judicial review seputar periodisasi masa jabatan Kepala Desa dapat ditarik kesimpulan yaitu: pertama, MK mengakui bahwa ketentuan yang tertulis pada bagian Penjelasan Pasal 39 ayat (2) a quo alih-alih memperjelas Pasal 39 ayat (2), justru mengaburkan dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta amat berpotensi menimbulkan Kepala Desa yang menjabat lebih dari 3 (tiga) periode, terkhusus bagi pihak-pihak yang memaknai bahwa perhitungan Kepala Desa telah menjabat 3 (tiga) periode semata dihitung berdasarkan pengangkatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan begitu, makna 3 (tiga) periode yang dimaksud di dalam Undang-Undang Desa harus ditempatkan sebagai variabel yang diutamakan, dan karenanya MK mengubah rumusan bagian Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Desa sehingga penghitungan 3 (tiga) periode dilihat secara faktual keseluruhan seseorang telah menjabat. 

Kedua, pertimbangan-pertimbangan dan putusan hakim MK sebagaimana telah disebutkan, telah tepat dalam menjawab pokok permohonan yang diajukan Pemohon pada Putusan MK Nomor 42/PUU-XIX/2021. 

Dan ketiga, apa yang telah diputuskan oleh MK melalui Putusan Nomor 42 /PUU-XIX/2021 bukanlah berarti apa yang tertuang di dalam Undang-Undang Desa terkait periodisasi masa jabatan Kepala Desa telah ideal. Ketentuan 3 (tiga) periode masa jabatan Kepala Desa sesungguhnya terlampau lama dibandingkan dengan apa yang ditentukan oleh Undang-Undang sebelumnya dan pengaturan yang terdapat pada Kepala Daerah dan Presiden yang hanya dimungkinkan maksimal menjabat selama 2 (dua) periode.

beras