Zumrotun Nafisah: Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Politik hanya Formalitas!
Berita Baru, Surabaya – Keterwakilan perempuan dalam politik masih menjadi hal yang terus diperbincangkan. Zumrotun Nafisah, Ketua Kopri PKC PMII Jatim mengungkapkan bahwa implementasi kuota 30% perempuan hanya formalitas sehingga sulit dicapai.
Hal ini ia sampaikan pada Talkshow Politik #5 yang diadakan secara rutin oleh Rumah Kebangsaan Jawa Timur dengan tema “Menakar Peluang Pemimpin Perempuan di 2024”, Sabtu 18 Februari 2023.
Pemerintah telah memberikan fasilitas affirmative action kepada perempuan dalam kepesertaan Pemilu sebesar 30%. Untuk mencapai kuota tersebut, kata Icha sapaan akrabnya, peserta Pemilu harus melalui tahapan pendaftaran administrasi dan harus melengkapi seluruh persyaratan yang berlaku.
“Tapi ironinya, dalam perjalanan waktu selama Pemilu itu berlangsung, tidak ada namanya affirmative action kepada perempuan dalam hal keterwakilannya dalam mengisi pos-pos strategis baik itu di legislatif ataupun di eksekutif,” ungkapnya.
Icha menyontohkan, dalam proses pemilihan legislatif, affirmative action hanya terdapat pada proses pendaftaran saja tetapi tidak dapat menjamin peserta Pemilu perempuan dapat mengisi kursi DPR.
Apa faktor penyebabnya?
Pada kesempatan ini, Icha mengungkapkan 3 faktor yang menyebabkan keterwakilan perempuan sulit dicapai, antara lain 1) sistem patriarki dan mainstream leader maskulinitas yang masih kental, 2) legitimasi dan institusi bagi perempuan masih lemah, dan 3) marjinalisasi akses.
Sistem patriarki dan mainstream leader maskulinitas
Penyebab pertama menurut Icha yaitu sistem patriarki dalam masyarakat secara kompleks.
“Bukan hanya ada di kalangan perempuan sendiri, mungkin kurang PD-nya untuk terjun ke dalam ranah politik dan sebagainya, tapi ini (patriarki: red) juga mengakar di masyarakat secara luas,” terangnya.
Menurutnya, dengan kondisi sepertu itulah yang menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap potensi perempuan.
“Ini yang menjadi salah satu analisa kami bahwa masyarakat kita saat ini masih mengakar sistem patriarki,” katanya.
Icha mengatakan pada tataran masyarakat luas masih banyak yang menganut mainstream leader masculinitas yang menganggap kepemimpinan di ranah publik hanya pantas dipegang oleh laki-laki.
Legitimasi dan institusi
Selain itu, legitimasi dan institusi untuk perempuan masih lemah dan marjinalisasi akses.
Hingga hari ini, kata Icha, kuota 30% keterwakilan perempuan pada proses administrasi peserta Pemilu ini menyebabkan sulitnya akses perempuan dalam mencapai bangku legislatif atau eksekutif hingga di pos-pos strategis.
Dia juga mengatakan, keterwakilan perempuan dalam Pemilu seharusnya menjadi rekomendasi untuk para pemangku kebijakan, termasuk partai politik.
“Juga penting sosok perempuan, selain adanya kuota afirmative action 30%, dalam ranah mengisi kepesertaan Pemilu, dia juga berhak untuk bisa ada afirmative action reserved seat,” katanya.
“Katankanlah dalam satu dapil, ada 5 atau 7 calon anggota legislatif. Ini akan jauh lebih harmoni dan sejahtera ketika kuota itu juga diberikan kepada perempuan, yang salah satu tantangan yang harus dihadapi perempuan itu tidak hanya legitimasi itu tetapi juga marjinalisasi akses yang sulit,” imbuhnya.
Marjinalisasi akses bagi peserta pemilu perempuan
Selain dua faktor di atas, Icha mengungkapkan bahwa budaya yang masih melekat dalam masyarakat adalah money politik yang dianggap sebagai senjata yang paling ampuh untuk bisa menduduki posisi tertentu.
“Tapi ini juga yang sangat dialami oleh kaum perempuan, bahwa perempuan itu masih lemah dan termarjinalkan dalam akses ekonomi,” ungkapnya.