Merdeka dari Polusi di Media Sosial
Oleh: Ach Taufiqil Aziz*
Memasuki bulan Agustus 2022 kita akan merayakan proklamasi kemerdekaan yang ke-77. Setelah memasuki usia yang semakin matang semestinya kita tambah dewasa dalam merawat kebhinekaan. Tapi masalahnya polusi di media sosial tampaknya selalu ramai. Utamanya saat tahapan Pemilu 2024 ini sudah mulai berjalan. Pelajaran berharga, Pemilu 2019 lalu telah membuka secara terang soal media sosial yang menyebabkan munculnya polarisasi. Parahnya hal itu bertahan dalam satu periode lamanya kepemimpinan nasional. Ibaratnya kita punya luka dan tiap hari kita garami dengan caci maki di media sosial dengan pelabelan cebong, kampret hingga kadrun.
Yang semestinya setelah pemilu kita menghasilkan oposisi yang menjadi penyeimbang, ternyata malah melahirkan kelompok pendukung yang tidak selesai. Bagi pendukung pemenang pemilu setiap kritik untuk pemerintah, dilawan dengan menguliti kejelekan kelompok yang kalah.
Porosnya sekarang sudah mulai berganti. Kalau dulu pendukung Jokowi melawan Prabowo, kini pendukung Jokowi melawan Anies. Karena Prabowo telah menjadi bagian dari pemerintahan. Tampaknya ini sebagai sinyal untuk gelaran Pemilu 2024 nanti.
Ketika polarisasi ini terjadi dan menjadi ajang caci maki, yang rugi adalah sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasi sebagai sistem membutuhkan kontrol dari masyarakat agar berjalan sesuai dengan jalurnya. Setiap kekuasaan yang tanpa kontrol berpotensi untuk menjadi sewenang-wenang.
Lagi-lagi harus diakui bahwa sumbu dari masalah ini berada di ruang media sosial. Tempat banyak orang bisa semakin mengentalkan polarasisasi karena pilihan dukungan politik. Bagaimana caranya?
Take Down Saja Tidak Cukup
Secara teknis sebagai warga negara, kita bisa ikut melaporkan postingan di media sosial dengan menekan fitur titik tiga di kanan atas lalu melaporkan bahwa postingan tersebut melanggar.
Masalahnya, apakah ini efektif? Tentu saja belum sepenuhnya. Kita tidak memiliki data tentang publik yang mau dan bersedia melaporkan setiap postingan yang diduga melanggar dari peserta pemilu saat melakukan kampanye.
Program-program yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan relawan demokrasi, dan Bawaslu dengan Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) belum menjadi jaminan bahwa puluhan ribu anak muda dan berbagai segmentasi itu efektif dalam mengawasi media sosial.
Karena dalam Pemilu 2024 kita akan dihadapkan dengan kemungkinan semakin banyaknya buzzer untuk membentuk opini di media sosial. Bagaimanapun, buzzer itu bergerak dengan terstruktur, sistematis dan massif hingga bisa membuat isu. Tidak seperti mitra dari penyelenggara pemilu yang bisa jadi belum terorganisir dengan kuat dan ketat dari atas sampai bawah.
Artinya menyerahkan setiap pengawasan hanya kepada masyarakat dengan men-take down setiap postingan di media sosial dengan segala kemungkinan-kemungkinannya tampaknya akan sulit dilakukan pada Pemilu 2024. Walaupun tentu ini bukan berarti sebagai pesimisme kita dalam mendorong publik untuk bersama dalam pengawasan di media sosial.
Kita perlu memang terus secara konsisten dan bersama-sama untuk sadar dan memerangi terhadap polusi di media sosial yang dilakukan oleh para buzzer saat tahapan kampanye sudah dimulai. Kita perlu mengencangkan program literasi digital bagi masyarakat untuk sadar dengan baik bahwa ternyata setiap isu dan opini yang muncul di media sosial perlu secara ketat untuk diverifikasi setiap kebenarannya.
Apakah ini bisa dilakukan untuk Pemilu 2024? Ada peluang bisa dilakukan. Beberapa kasus yang dikawal oleh publik lewat media sosial berdampak pada perubahan kebijakan. Yang terdekat kasus tentang pembunhan Brigadir J yang kini menggelinding menemukan jalan terang setelah dikawal bersama oleh publik. Kasus lain misalnya soal kawalan publik tentang oknum polisi yang diduga menghamili, menggugurkan dan bahkan menyebabkan si perempuan bunuh diri di Mojokerto, dan kasus dugaan pelecehan seksual di Kereta Api yang menyebabkan si pelaku mendapatkan sanksi yang tegas dan jelas.
Netizen kita memang luar biasa dalam beberapa kasus yang dikawal. Masalahnya apakah kita konsisten dalam membersihkan polusi di media sosial? Jangan-jangan nanti selain ada potensi dirusak konsentrasinya oleh buzzer dalam mengawal dan menanggapi isu tertentu saat kampanye, juga bisa menggiring dalam arus kelompok dukungan tertentu yang menyebakan akal sehat tidak lagi berfungsi sengan sempurna.
Untuk itulah, diperlukan semangat untuk bersama merdeka dari ujaran kebencian, hoaks, framing, provokasi yang akan berpotensi mengganggu dan merusak kebinekaan kita
Merdeka dari Hoaks dan Ujaran Kebencian
Semangat kemerdekaan ini sebagai momentum untuk kebangkitan semangat merdeka dari jeratan hoaks yang terkutuk dan ujaran kebencian yang memecah belah. Hal itu harus menjadi kerja kongkret dari banyak pihak untuk mewujudkannya.
Media massa seperti beritabaru ini tampaknya perlu bekerja lebih rajin lagi untuk menyajikan berita meluruskan setiap distorsi informasi. Kita menaruh harapan besar bagi media yang murni, jujur dan mengedepankan kebenaran setiap informasi.
Selain itu, kita juga berharap ada peran dari organisasi keagamaan dan kemasyarakat untuk berdiri tegak sebagai payung yang akan melindungi kita dan masyarakat semua dari potensi adanya ujaran kebencian dengan motif agama dan politik.
Pada sisi lainnya semangat anak muda dan organisasi kepemudaan juga penting untuk menjernihkan setiap informasi dan ujaran kebencian yang akan mengancam kebhinekaan. Kita punya banyak sekali generasi Z yang idealis dan potensial dan perlu diberikan ruang untuk berekspresi dan menjernihkan polusi media sosial kita.
Sebagaimana hutan yang akan membersihkan setiap polusi dari udara, hal itu juga dilakukan oleh kita semua untuk menjadi “hutan” yang menjernihkan akal sehat yang terancam oleh polusi di media sosial. Merdeka.