Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Biang Banjir Kabupaten Jember
Banjir Jember. (Dok. Foto: Instagram @bedadung)

Biang Banjir Kabupaten Jember



Berita Baru, Jember – Banjir kembali melanda Kabupaten Jember pada Selasa (15/03/22). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember mengatakan air bah itu disebabkan oleh intensitas hujan lebat. Sekretaris BPBD Kabupaten Jember, Heru Widagdo mengatakan banjir terjadi di enam lokasi pada Senin (14/3) sore hingga malam hari.

“Tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Sukowono, Kecamatan Semboro, dan Kecamaran Sumberbaru,” katanya dilansir dari Antara. Data yang dihimpun BPBD menyebutkan bahwa banjir tersebut menggenangi 953 rumah dan sebanyak 3.101 warga menjadi korban.

Sebenarnya banjir di Kabupaten Jember bukanlah hal baru. Sebelumnya pada 10 Januari 2022 banjir juga melanda. Air bah luapan Sungai Semangir itu paling parah merendam Perumahan Bumi Mangli Permai, Kecamatan Kaliwates.

Hendy Siswanto, Bupati Jember, mengatakan banjir bandang itu disebabkan oleh timbunan sampah dan pendangkalan sungai. “Tumpukan sampah di pintu air Sungai Semangir yang menuju perumahan juga menjadi penyebab tersumbatnya aliran air, sehingga air meluap ke permukaan,” katanya saat meninjau lokasi terparah banjir bandang di Perumahan Bumi Mangli Permai di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember dikutip Antara, Senin, 10 Januari.

Timbunan sampah itu diamini oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation & Wetland Conservation (Ecoton). Mereka melakukan ekspedisi Sungai Bedadung Jember pada 6-9 Januari 2022 bersama Kelompok Pencinta Alam di Jember, Study Club Ecological Mushiwa Universitas Islam Negeri KH Ahmad Siddiq dan beberapa komunitas lingkungan lain.

Ekspedisi yang dimulai di segmen hulu Kali Bedadung di Jembatan Antirogo, Kecamatan Sumbersari menemukan puluhan timbunan sampah plastik di permukaan sungai. Eka Chlara Budiarti, Koordinator Tim Ekspedisi Sungai Bedadung mengungkapkan bahwa Sungai Bedadung tak jauh berbeda dengan sungai-sungai di Pulau Jawa yang penuh sampah terutama plastik.

“Sekitar 80% sampah terapung di Bedadung adalah tas kresek tak bermerek. Untuk sampah sachet paling banyak dijumpai bungkus makanan dan minuman,” ungkapnya seperti dikutip Mongabay.co.id

Sampah-sampah itu tak sekadar menjadi penyumbang banjir akan tetapi, Eka mengatakan, fragmentasi plastik jadi mikroastik akan mengancam kesehatan suplai air PDAM Pemkab Jember.

“Ini menunjukkan Pemprov Jatim dan Pemkab Jember tak serius mengelola sungai dan mengendalikan sumber sampah plastik,” kata Eka Chlara Budiarti, Koordinator Tim Ekspedisi Sungai Bedadung, kepada Mongabay.co.id

Kondisi itu kian diperparah dengan kondisi DAS Bedadung mengalami kondisi kritis. “Sekitar 65 persen kritis akibat erosi berat,” ungkap Fauzan Mas’udy Ketua Panitia yang juga mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Air Pertanian (PSDAP) Pascasarjana Universitas Jember (Unej) Fauzan Mas’udy, di Jember, Senin (24/12/19) kepada jatimpos.id. “Salah satu penyebab erosi adalah penebangan hutan dan alih guna lahan yang masif terutama di daerah hulu DAS Bedadung,” imbuhnya.

Catatan Walhi Jawa Timur, berdasarkan data dari Global Forest Watch, menyebutkan pada tahun 2001, Jawa Timur memiliki 232.000 hektar hutan primer yang membentang di lebih dari 4,8% luas daratannya. Sedangkan pada tahun 2019 hutan primer di Jawa Timur hilang sekitar 439 hektar setara dengan 255kt emisi CO₂. Di samping itu, dari 2001 hingga 2019, Jawa Timur juga telah kehilangan 84.500 hektar tutupan pohon, setara dengan penurunan 4,4% tutupan pohon sejak 2000, dan 36,3 juta ton emisi CO₂.

Sementara jika dirinci secara seksama, lima wilayah yang kehilangan hutan paling besar di Jawa Timur yakni Banyuwangi 15.800 hektar, Jember 12.200 hektar, Malang 8.780 hektar, Bondowoso 4.740 hektar dan Tulungagung 3.860 hektar. Dari 2001 hingga 2012, Jawa Timur sendiri memiliki sekitar 19.400 hektar tutupan pohon di seluruh wilayah yang setara dengan 0,28% dari seluruh penutupan pohon di Indonesia.

Pakar lingkungan dan pertanian Universitas Jember (Unej) Dr Luh Putu Ayu Suciati mengatakan, tutupan lahan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Bedadung di Kabupaten Jember, Jawa Timur dalam kondisi kritis, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang.

Ia mengatakan persoalan DAS Bedadung di Kabupaten Jember cukup kompleks, sehingga perlu peranan semua pihak untuk menyelamatkan lingkungan dari bencana dan tidak saling menuding pihak yang menyebabkan bencana alam tersebut.

“Tutupan lahan di hulu DAS Bedadung semakin berkurang, yakni hanya 16,25 persen berdasarkan citra satelit tahun 2018, padahal idealnya 30 persen sesuai dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,” terangnya pada Antaranews.com (5/02/2021).

Luh Putu mengatakan berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa UNEJ juga menyebutkan adanya perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS Bedadung. Ada tiga kecamatan yang berada di hulu DAS Bedadung, yakni Kecamatan Jelbuk, Sumberjambe, dan Panti yang sebagian berada di kawasan lereng Pegunungan Huang Argopuro.

Pola pertanian masyarakat di kawasan hulu DAS Bedadung, kata Luh Putu, merupakan pola pertanian ladang berpindah dengan tanaman seperti jagung dan padi yang tidak mampu menahan resapan air, sehingga ketika hujan turun cukup deras tidak ada tanaman keras yang bisa menahan air tersebut.

Hal itu diamini oleh Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Jember, Muhammad Fajar. Ia mengatakan bahwa pohon-pohon penyangga di kawasan hulu telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian. Padahal, pohon-pohon itu, kata Fajar, mampu menahan laju air hujan ke wilayah hilir. “Rusaknya daya serap di wilayah hulu juga terjadi di wilayah hilir,” ungkap wajar.

Ia menjelaskan bahwa keruwetan tata ruang turut berkontribusi terhadap intensitas banjir. Lahan-lahan produktif dialih fungsikan menjadi perumahan-perumahan. “Bukan hanya sekadar soal curah hujan,” kata Fajar. Ia juga menyoroti terkait penyempitan sungai yang terjadi di wilayah hilir. “Ketika daya serap dan pohon-pohon penyangga itu sudah tiada maka jangan salah jika terjadi banjir,” tegasnya.

Kian Diperparah Krisis Iklim

Banjir adalah salah satu bencana hidrometeorologi yang akhir-akhir ini terjadi di banyak tempat. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB, menyebutkan bahwa terjadi kenaikan curah hujan di sebagian wilayah. Menurut Prof Edvin Aldrian, ahli meteorologi dan klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Vice Chair Working Group 1 Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), mengatakan bahwa salah satu dampak dari fenomena La Nina, misalnya, air hangat masuk ke perairan Indonesia.

“Fenomena alam inilah yang mendorong  terjadinya peningkatan intensitas hujan di Indonesia,” jelas Prof Edvin dalam keterangan tertulis, Selasa, 8 Maret 2022. 

Berdasarkan laporan Working Group II IPCC bertajuk “Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability” yang diluncurkan akhir Februari lalu, kebutuhan untuk melakukan upaya global penanganan perubahan iklim sangat mendesak karena bencana kekeringan dan banjir semakin berdampak pada kehidupan banyak orang.

Laporan tersebut merinci area kerentanan dan langkah adaptif terhadap perubahan akibat perubahan suhu global. Laporan ini juga mencatat sekelompok masyarakat terutama yang paling rentan dan memikul beban akibat dampak perubahan iklim.

Tim Peneliti Gender Into Urban Climate Change Initiative (Gucci), Marhauni Nasution, mengatakan bahwa isu perubahan iklim di Kabupaten Jember belum mendapatkan tempat oleh masyarakat. Ia menegarai hal itu disebabkan oleh tidak adanya kebijakan perubahan iklim dari pemerintah daerah, minimnya perhatian media terhadap perubahan iklim. “Hingga kurangnya informasi yang diterima masyarakat,” terangnya kepada Radar Jember.

beras