Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Lahirnya Regulasi Baru dan Dongeng-dongeng Pertumbuhan Ekonomi
Avika Mkh (Praktisi & Law Enthusiast)

Lahirnya Regulasi Baru dan Dongeng-dongeng Pertumbuhan Ekonomi



Oleh: Avika Mkh


SEJARAH lingkungan hidup kita hari ini merupakan gambaran tentang sejarah atas banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat maraknya kegiatan eksploitasi yang berlandaskan atas nama pemenuhan kebutuhan serta pembangunan. Seolah kalau kita sedang membicarakan terkait isu lingkungan, hanya akan menjumpai betapa tingginya kerusakan alam disertai dengan pemakaian dan perilaku konsumsi energi yang tinggi yang dihasilkan dari proses pertambangan yang sangat masif.

Mengapa percepatan pembangunan infrastruktur yang seringkali disebut sebagai proses dan transformasi menuju realisasi atas pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha menjadi sangat begitu mengkhawatirkan? Mengingat hal ini berkaitan erat dengan indikator yang menentukan alat ukur kesejahteraan masyarakat. 

Pembangunan sebagai salah satu panggung ekonomi yang menyangkut pemanfaatan sumber daya melalui mekanisme dan sistem yang berkelanjutan (sustainable), tentu memiliki hubungan yang erat dengan intervensi pemerintah dalam pengelolaannya, baik dari skema pembangunan infrastruktur fisik yang tentunya banyak melibatkan alih fungsi lahan, proses eksploitasi serta berbagai aktifitas industri ekstraktif yang disinyalir memiliki dampak yang serius terkait kerusakan lingkungan.

Hal ini sejalan dengan lahirnya dongeng-dongeng pertumbuhan ekonomi yang merupakan gejala (sympstoms) dari suatu masalah yang menghubungkan faktor kemakmuran suatu negara yang berusaha mendobrak keterbelakangan ekonomi, dengan banyaknya proyek-proyek besar yang akan, sedang atau telah dilaksanakan yang digadang-gadang memiliki investasi tinggi serta berdampak ekonomi luas. Sehingga hal tersebut mampu memberikan perubahan yang lebih cepat terhadap peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, tentunya dengan didukung oleh kebijakan pemerintah yang terlibat secara politis dalam sektor perekonomian melalui pengesahan berbagai regulasi.

Seperti lahirnya regulasi terbaru yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang seakan-akan menjadi kebijakan kontroversial, karena telah diizinkan dan diperbolehkannya kegiatan ekspor pasir laut untuk berbagai keperluan.

Dalam Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 menyatakan bahwa hasil tambang tersebut merupakan “Hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/ atau material sedimen lain berupa lumpur” ayat (1), yang pemanfaatannya digunakan untuk: “Reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha dan/ atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” ayat (2).

Tentu hal tersebut akan membuka lebar keran yang dinilai sebagai ladang bisnis oleh pelaku usaha. Seperti proyek besar terkini yang sedang direncanakan dan akan dijalankan terakait adanya reklamasi yang akan dilakukan di Pulau Rempang (Batam), dengan dibukakannya sektor industri besar soal panel surya. Informasi tersebut telah dikonfirmasi langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, kepada para wartawan di Hotel Mulia, Jakarta (30/5/2023).

Sebagai salah satu  faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, ketersediaan Sumber Daya Alam dalam penggunaannya harus disertai dengan analisis resiko iklim dan lingkungan. Sehingga keberhasilan pertumbuhan ekonomi bukan hanya dilihat dari naiknya pendapatan nasional, pendapatan perkapita, meningkatnya jumlah tenaga kerja, serta berkurangnya kemiskinan. Walau sah-sah saja ketika pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 5,3% (lima koma tiga persen) hingga 5,7% (lima koma tujuh persen) pada tahun 2024 mendatang, dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2024, Jakarta, 30/05/2023. Namun harus ada jawaban atas tantangan global dalam menghadapi climate change terkait pemanasan global terhadap naiknya permukaan air laut.

Lahirnya regulasi baru memang menjadi alarm bagi masyarakat pesisir, dalih-dalih yang di klaim pemerintah sebagai upaya pemulihan pendangkalan laut dan menjaga kesehatan laut tak lebih dari sekadar kedok bisnis yang tentunya sarat akan kepentingan ekonomi. Terlebih sejak dibekukannya kegiatan ekspor pasir laut sejak 20 (dua puluh) tahun yang lalu melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut karena dinilai memiliki potensi kerusakan lingkungan yang begitu besar. Bahkan akan berimbas terhadap percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat abrasi yang terjadi di pesisir pantai.

Pernyataan tentang adanya rancangan bisnis serta pemerintah yang menganggap bahwa peraturan tersebut merupakan sebuah terobosan yang memiliki nilai ekonomis menjadi ironi betapa mudah dan indahnya menjual kekayaan alam dengan banyaknya keuntungan yang tentunya akan didapat para pelaku usaha, serta gaya pembangunan yang memaksa kita untuk larut dalam kungkungan anak kandung kapitalisme (developmentalisme), bagaimana faktor-faktor ukuran keberhasilan (key succes factors) hanya dinilai dari aktivitas material; pembangunan jalan, pabrik, reklamasi, dan lain-lain. Sedangkan dalam proses mencapai tujuan, masih terdapat jurang pemisah antara pihak yang berkepentingan dengan kelompok renta dalam hal peran serta proses pengambilan kebijakan yang berlandaskan demokratisasi.

Proses melahirkan kebijakan yang bajik melalui pengesahan regulasi memang sudah seharusnya melalui proses pengawalan yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen. Apakah kemudian, pengesahan regulasi tersebut telah melibatkan masyarakat ataupun kelompok yang terdampak langsung dan/ atau mempunyai kepentingan atas materi muatan dalam rancangan sebuah regulasi dan peraturan, apakah telah diadakan rapat dengar pendapat umum terhadap masyarakat khususnya penduduk asli daerah pesisir sehingga mampu menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan rancangan regulasi dan peraturan perundang-undangan yang akan disahkan? Relatif absensinya partisipasi masyarakat dalam mekanisme pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut membuat praktik demokrasi mengalami dekaden serta cacat prosedural. Pasalnya, apabila pemerintah abai akan hal tersebut, maka akan ada potensi lahirnya struggle of interest antara masyarakat dan juga pemerintah dalam mengkalkulasikan sumber daya berdasarkan batas resiko yang dapat diterima untuk menciptakan hasil yang menguntungkan. Apakah kemudian kebijakan tersebut melahirkan peluang yang aman atau justru menghadirkan ancaman yang serius.

Hanya ada satu jawaban, bahwa dalam melaksanakan program pembangunan untuk mencapai tujuan akan banyak dijumpai berbagai cara untuk menghalalkannya. Gaya pemerintahan trickle down effect yang mencapai pertumbuhan ekonomi dengan berkonsentrasi kepada para pemilik modal haruslah diletakkan melalui kerangka besar membangun manusia Indonesia yang utuh yang membawa kelanjutan dengan perubahan (continuity with change). Sehingga menciptakan keselarasan hubungan manusia dengan lingungan. Jangan sampai, karena banyaknya perubahan yang terjadi; perubahan struktur ekonomi, sosial, fisik wilayah, pola konsumsi, sumber alam, nilai dan juga kebudayaan, melahirkan potensi kerawanan. Hal ini karena keberhasilan pembangunan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi selalu serentak dengan kerusakan lingkungan hidup.

beras