Potensi Korupsi di Perpanjangan Jabatan Kades
Berita Baru, Jakarta – Puluhan ribu kepala desa (Kades) dari berbagai penjuru Indonesia berunjuk rasa ke Jakarta, hari ini (17/1). Titik kumpulnya di Gedung DPR/MPR RI, Kompleks Senayan. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan. Dari saat ini 6 tahun, diubah menjadi 9 tahun.
Tuntutan mereka direspon baik oleh DPR. Namun beberapa pihak justru memandang sebaliknya. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun akan menambah masalah baru.
Permasalahan utama di desa selama ini, kata Trubus, adalah minimnya transparansi pengelolaan pemerintahan desa itu sendiri. “Masalah akuntabilitas publiknya. Pertanggungjawaban publiknya itu minim di desa,” ujar Trubus kepada Bisnis.com, Selasa.
Dia menilai selama ini tak sedikit kades atau jajarannya menyelewengkan dana desa. Menurutnya, korupsi lazim di tingkat pemerintahan desa sehingga akan berakibat fatal jika masa jabatan kades semakin lama.
Itu sebabnya, wacana perpanjangan masa jabatan kades bukan solusi terhadap permasalahan desa yang ada selama ini. “Kalau kepala desa itu terlalu lama jabatannya, potensi penyelewengannya tinggi,” tegasnya.
Selain itu, masa jabatan yang terlalu panjang dinilai akan membuat kades tak bekerja dengan efisien. Dia menilai dengan masa jabatan yang singkat, para kades dipaksa untuk bekerja lebih efektif. Dengan masa yang tak terlalu lama, mereka pun akan mempercepat pembangunan di desa.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2021 menunjukkan bahwaanggaran dana desa menjadi sektor yang rentan dikorupsi. Ada sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian negara sebesar Rp233 miliar.
“Pada tahun 2021, aparat penegak hukum paling banyak menangani kasus korupsi di sektor anggaran dana desa,” ungkap peneliti ICW Lalola Ester dalam rilis ‘Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2021’, Senin (18/4).
ICW juga menemukan bahwa korupsi anggaran dana desa bahkan cenderung meningkat sejak 2015. Dalam kurun waktu 2015-2017 ada 154 kasus. Di tahun 2019-2021 ICW mencatat korupsi dana desa sebanyak 326 kasus dengan melibatkan 417 orang.
Kondisi tersebut pun sejalan dengan temuan ICW terkait lembaga negara yang paling banyak terjerat kasus korupsi. ICW menemukan, pemerintah desa adalah lembaga dengan kasus korupsi yang ditangani APH terbanyak pada tahun lalu.
Menurut Lalola, temuan di atas harus menjadi perhatian. Pengawas pada sektor anggaran desa perlu diperketat. Mengingat pada tahun 2022 anggaran desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat adalah sebesar Rp 68 triliun.
“Dengan besar anggaran yang yang luar biasa gitu, ya, alokasi anggaran yang besar dari negara itu perlu dibarengi dengan pemantauan yang lekat dan kontrol serta evaluasi bagaimana kemudian anggaran tersebut digunakan atau dikelola,” ungkap dia.
Di samping itu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyebut sebanyak 686 kepala desa terjerat korupsi dana desa di 601 kasus. Firli mengatakan, ratusan kasus itu terjadi sepanjang sembilan tahun, sejak 2015 hingga 2022.
“Kita lihat data sekarang, cukup memprihatinkan kita, 601 desa, 686 pihak perangkat desa dan kepala desa terlibat kasus korupsi,” kata Firli saat ditemui awak media di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (18/10/2022).
KPK menyebut ada beberapa modus yang dilakukan Kepala Desa dalam mengelola dana tersebut untuk masuk ke kantong pribadi, antara lain Mark up Rancangan Anggaran Biaya, Perjalanan Dinas/ Kegiatan Fiktif, Laporan Fiktif, Penggelapan Dana dan Penyalahgunaan Anggaran.
Koordinator Divisi Hukum ICW, Tama S Langkun mengatakan sedikitnya ada 15 pola korupsi dana desa. ICW menyebut pola itu tercatat dalam ratusan perkara korupsi dana desa yang telah diusut aparatur hukum.
“Dari ratusan perkara yang sudah ada, kami sudah mencatat 15-an pola korupsi,” kata Koordinator Divisi Hukum ICW, Tama S Langkun, di gedung lama KPK, Jakarta, Jumat, 8 November 2019.
Tama menyebutkan sejumlah pola korupsi itu di antaranya proyek fiktif. Modus ini dilakukan dengan cara memasukkan anggaran untuk pekerjaan, namun proyek tak pernah ada.
Selanjutnya pola kedua ialah double budget. Modus ini dilakukan dengan cara memasukkan anggaran untuk proyek yang sebenarnya telah rampung dikerjakan.
Selanjutnya ada pula orang yang berhutang menggunakan dana desa, namun tak pernah dikembalikan. “Ini pola yang sangat mudah kita jumpai,” kata dia.