Koalisi Masyarakat Sipil Sebut UU Cipta Kerja Dikuasai oleh Pembisnis Tambang dan Energi Kotor
Berita Baru, Jakarta — Koalisi Masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia bersama Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) meluncurkan sebuah laporan yang mengungkap bagaimana substansi dan proses UU Omnibus Law Cipta Kerja dikuasai oleh konflik kepentingan.
Laporan berjudul “ Omnibus Law, Kitab Hukum Oligarki. Para Pebisnis Tambang dan Energi Kotor di Balik Omnibus Law: Peran, Konflik Kepentingan, dan Rekam Jejaknya” ini menganalisis data-data resmi pemerintah seperti profil perusahaan dari Ditjen AHU Kemenkumham, catatan rekam jejak daya rusak perusahaan tambang dan batubara dari kliping dan kajian lembaga resmi.
“Tanggapan Presiden Jokowi, para menterinya serta DPR terhadap protes publik justru merendahkan rakyat yang dinilai termakan hoaks. Laporan ini justru mengungkapkan fakta sebaliknya. Pasal-pasal di UU Cipta Kerja ini benar-benar disusupi oleh kepentingan pebisnis tambang dan energi kotor. Kepentingan bisnis disusupi melalui aktor-aktornya di semua alur proses pembahasan dan pengesahan Omnibus Law baik secara langsung maupun tidak,” ujar Merah Johansyah, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dalam keterangan resminya, Minggu (18/10).
Ia menyebutkan bahwa Panja, Pimpinan DPR RI, hingga beberapa kementerian terkait memiliki relasi dengan bisnis tambang dan energi kotor di Indonesia.
“Tidak hanya itu, para calon penerima manfaat potensial dari disahkannya UU tersebut baik yang terhubung secara langsung maupun tidak langsung dengan anggota Satgas ataupun Panja melalui korporasi tambang juga terpetakan,” terangnya.
“Konflik kepentingan akan mendorong pejabat publik mengambil keputusan dan kebijakan yang tidak berdasar pada kepentingan rakyat. Korupsi sistemik ini masuk dalam kategori kejahatan serius karena mampu mengubah struktur substansi dari suatu negara demokratis menjadi negara dengan watak oligarkis yang tidak lagi melayani kepentingan publik. Dengan demikian, dapat dikatakan telah terjadi pengkhianatan terstruktur melalui penyanderaan institusi publik dan regulasinya, sehingga keduanya berubah menjadi alat untuk menguntungkan kepentingan segelintir orang,” imbuhnya.
Sebelumnya, koalisi juga telah merilis laporan Cilaka 12 yang mengungkap 12 aktor penting di balik Omnibus Law2. Sementara dalam laporan ini muncul nama-nama baru dengan konflik kepentingan yang juga terlihat dari sejumlah profil dalam alur proses pembahasan UU Cipta Kerja. Mereka adalah Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Kemaritiman dan Investasi dengan hubungan bisnisnya bersama PT Toba Bara Sejahtera, Erick Thohir sebagai Menteri BUMN dengan PT Adaro, sedangkan Aburizal Bakrie yang terhubung dengan raksasa tambang PT Arutmin dan PT KPC yang akan habis masa berlaku izinnya dalam dua tahun ini. Sementara itu muncul nama baru lainnya Prabowo Subianto dengan PT Nusantara Energindo Coal.
Dugaan konflik kepentingan para aktor tersebut, menurutnya terlihat jelas pada pasal-pasal pada naskah yang terakhir yang disebut pemerintah dan DPR, antara lain, pasal insentif royalti 0% bagi perusahaan tambang minerba yang melakukan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di Halaman 147. Pasal Pemanfaatan Ruang Laut untuk Industri Batubara di halaman 43 Pasal 47A ayat (2) serta Pasal Pemutihan Kejahatan Kehutanan (Tambang di hutan) di halaman 145 dan 146.
Sebaliknya, dengan kelonggaran dan menghilangkan beberapa pasal-pasal pidana pada pelaku usaha tambang, Omnibus Law menambah dan mempertahankan pasal-pasal pidana pada masyarakat. Pasal 162 UU Minerba (Pasal 39 dalam Omnibus Law) mempertegas pengenaan sanksi pidana pada masyarakat terutama lingkar tambang. Juga pada Pasal 73 UU Panas Bumi (Pasal 41 dalam Omnibus Law) yang kembali mempertegas pengenaan pidana pada masyarakat. Pada UU sebelumnya pengenaan pidana hanya 1 tahun, diubah dalam Omnibus Law ini menjadi 7 tahun penjara.
Oleh karena itu, Koalisi #BersihkanIndonesia dan Fraksi Rakyat Indonesia menyerukan kepada Presiden Jokowi, segenap pemerintahannya dan DPR RI untuk segera mencabut dan membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan UU Pertambangan Mineral dan Batubara karena ditengarai produk yang cacat dan lahir dari legislasi yang dipenuhi oleh konflik kepentingan.
Selain itu, mereka juga menuntut pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum dalam operasi pertambangan. Mencegah kehadiran Politically Exposed Person (PEP) dalam kepemilikan dan kepemimpinan perusahaan batubara, atau sebaliknya mencegah pemilik dan pimpinan perusahaan batubara, tambang dan energi kotor dalam pemerintahan dan sistem politik Indonesia..
“Memperkuat langkah-langkah hukum untuk mencegah konflik kepentingan di antara PEP, menciptakan perlindungan yang lebih kuat dari risiko kolusi dan campur tangan Mengatur konflik kepentingan antara politikus atau pejabat pemerintah dan pengusaha tambang dan energi kotor,” tegasnya.
“Mendorong moratorium izin pertambangan dan PLTU batubara diikuti dengan menyusun peta jalan untuk meninggalkan batubara dan energi kotor sebagai kutukan sumber daya alam, bertransisi menuju energi terbarukan yang adil,” pungkasnya.