BMKG Ingatkan Adanya Potensi Terburuk Gempa dan Tsunami di Kabupaten Pacitan
Berita Baru Jatim, Pacitan – Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengingkatkan pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, untuk bersiap menghadapi skenario terburuk gempa dan tsunami yang berpotensi terjadi.
BMKG memberikan peringatakan untuk mengurangi dan menghindari resiko bencana gempa dan tsunami yang mengintai pesisir selatan Jawa, akibat dari adanya pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.
“Berdasarkan hasil penelitian, pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu 29 menit,” kata Dwi, dikutip dari Antaranews.com, Minggu (13/9/2021) kemarin.
“Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4-6 kilometer dari bibir pantai,” ungkap Dwi.
Sebelumnya dalam simulasi potensi bencana, Dwi bersama Menteri Sosial Tri Rismaharani dan Bupati Pacitan Indarata Nur Bayuaji melakukan verifikasi zona bahaya dan menelusuri jalur evakuasi bencana.
Skenario tersebut, Sebut Dwi, masyarakat di dalam zona bahaya perlu berlatih rutin untuk melakukan gerakan evakuasi ketika mendapatkan peringatakan dini tsunami maksimum 5 menit setelah gempa terjadi.
Warga yang tinggal di pesisir pantai harus segera mengungsi ke daratan tinggi, jika merasakan goncangan gempa yang besar.
“Untuk masyarakat yang berada di pantai, tidak perlu menunggu perintah, aba-aba, atau sirine, segera lari karena waktu yang dimiliki hanya sekitar 29 menit, sedangkan jarak tempat yang aman yang lebih tinggi cukup jauh,” jelas Dwi.
Dwikorita mengatakan yang namanya skenario artinya masih bersifat potensi yang bisa saja terjadi atau bahkan tidak terjadi. Namun demikian, masyarakat dan pemerintah daerah harus sudah siap dengan skenario terburuk tersebut.
Lebih lanjut Dwi, jika masyarakat dan pemerintah daerah siap, maka jumlah korban jiwa maupun kerugian materi dapat diminimalkan.
Dengan skenario terburuk ini, Pemda bersama-sama masyarakat bisa lebih maksimal mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih komprehensif.
“Jika masyarakat terlatih maka tidak ada istilah gugup dan gagap saat bencana terjadi. Begitu gempa terjadi, baik masyarakat maupun pemerintah sudah tahu apa-apa saja yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas tersebut,” tuturnya.
Dwikorita menegaskan, hingga saat ini tidak ada teknologi atau satu pun negara di dunia yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa dan tsunami secara tepat dan akurat, lengkap dengan perkiraan tanggal, jam, lokasi dan magnitudo gempa. Semua masih sebatas kajian yang didasarkan pada salah satunya adalah sejarah gempa di wilayah tersebut.
Sementara itu, BMKG memberi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan dan menambah jalur-jalur evakuasi lengkap dengan rambu-rambu di zona merah menuju zona hijau.
Mengingat luasnya zona bahaya (zona merah) dan padatnya pemukiman penduduk, maka pemerintah daerah harus lebih cermat dan tepat dalam memperhitungkan jumlah dan lokasi jalur evakuasi yang diperlukan.
Pertimbangannya adalah jarak lokasi tempat evakuasi, waktu datangnya gelombang genangan tsunami, kalayakan jalur, serta menyiapkan mekanisme dan sarana prasarana evakuasi secara tepat.
Pemerintah daerah, lanjut Dwikorita, juga perlu mempersiapkan secara khusus sarana dan prasarana evakuasi bagi kelompok lanjut usia (lansia) dan difabel. Selain itu, masyarakat juga harus terus diedukasi mengenai potensi bencana dan cara menghadapinya.
“Saya rasa perlu juga disiapkan semacam Tempat Evakuasi Sementara (TES) ataupun Tempat Evakuasi Akhir (TEA) sebagai tempat penampungan khusus bagi warga yang mengungsi dengan ketersediaan stok/cadangan logistik yang memadai,” pungkas dia.