Kumpulan Puisi Wiji Thukul yang Populer
Berita Baru, Surabaya – Dari sekian banyak puisi yang ada di Indonesia, salah satu yang populer ialah karya Wiji Thukul.
Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo adalah penyair dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia.
Dia lahir pada 26 Agustus 1963 di Jagalan, Surakarta. Karyanya sangat tersohor di seluruh negeri, terutama puisinya yang banyak menceritakan penindasan, pelanggaran HAM, dan penjajahan.
Kumpulan puisi Wiji Thukul menjadi karya seni sejarah yang bernilai. Di artikel kali ini kita akan memberikan beberapa puisi Wiji Thukul yang populer.
Kumpulan Puisi Wiji Thukul
TUJUAN KITA SATU IBU
Kutundukkan kepalaku,
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
Di hati rakyatmu,
tersebut namamu selalu
di hatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
“a luta continua.”
kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu:pembebasan!
Kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
(4 Juli 1997)
Kemerdekaan
kemerdekaan
mengajarkan aku berbahasa
membangun kata-kata
dan mengucapkan kepentingan
kemerdekaan
mengajar aku menuntut
dan menulis surat selebaran kemerdekaanlah
yang membongkar kuburan ketakutan
dan menunjukkan jalan
kemerdekaan adalah gerakan
yang tak terpatahkan
kemerdekaan
selalu di garis depan (Solo, 27-12-1988)
BURUH-BURUH
di batas desa
pagi – pagi dijemput truk
dihitung seperti pesakitan
diangkut ke pabrik
begitu seterusnya
mesin terus berputar
pabrik harus berproduksi
pulang malam
badan loyo
nasi dingin
bagaimana kalau anak sakitan
bagaimana obat
bagaimana dokter
bagaimana rumah sakit
bagaimana uang
bagaimana gaji
bagaimana pabrik?
mogok?
pecat!
mesin tak boleh berhenti
maka mengalirlah tenaga murah
mbak ayu kakang dari desa
disedot
sampai pucat
(solo, 4-86)
BUKAN DI MULUT POLITIKUS BUKAN DI MEJA SPSI
berlima dari solo berkereta api kelas ekonomi murah
tak dapat kursi melengkung tidur di kolong
pas tepat di kepala kami bokong-bong
kiri kanan telapak kaki tas sandal sepatu
tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan
dari krawang-bandung-jakarta-jogya-tangerang
buruh pabrik plastik, tekstil, kertas dan macam-macam
datang dengan satu soal
dari jakarta pulang tengah malam dapat bis rongsok
pulang letih tak apa diri telah ditempa
sepanjang jalan hujan kami jongkok tempat duduk
nempel jendela
bocor
bocor
sepanjang jalan tangan terus mengelapi
agar pakaian tak basah
dingin
dingin
tapi tak apa
diri telah ditempa
kepala dan dada masih penuh nyanyi panas
hari depan buruh di tangan kami sendiri
bukan di mulut politikus
bukan di meja spsi (Solo 14 mei 1992)
Bukan Kata Baru
ada kata baru kapitalis, baru? Ah tidak, tidak
sudah lama kita dihisap
bukan kata baru, bukan
kita dibayar murah
sudah lama, sudah lama
sudah lama kita saksikan
buruh mogok dia telpon kodim, pangdam
datang senjata sebataliyon
kita dibungkam
tapi tidak, tidak
dia belum hilang kapitalis
dia terus makan
tetes ya tetes tetes keringat kita
dia terus makan
sekarang rasakan kembali jantung
yang gelisah memukul-mukul marah
karena darah dan otak jalan
kapitalis
dia hidup
bahkan berhadap-hadapan
kau aku buruh mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung
sama-sama?
tidak, tidak bisa
kita tidak bisa bersama-sama
sudah lama ya sejak mula
kau aku tahu
berapa harga lengan dan otot kau aku
kau tahu berapa upahmu
kau tahu
jika mesin-mesin berhenti
kau tahu berapa harga tenagamu
mogoklah
maka kau akan melihat
dunia mereka
jembatan ke dunia baru
dunia baru ya dunia baru. (Tebet 9/5/1992)
Seorang Buruh Masuk Toko
masuk toko
yang pertama kurasa adalah cahaya
yang terang benderang
tak seperti jalan-jalan sempit
di kampungku yang gelap
sorot mata para penjaga
dan lampu-lampu yang mengitariku
seperti sengaja hendak menunjukkan
dari mana asalku
aku melihat kakiku – jari-jarinya bergerak
aku melihat sandal jepitku
aku menoleh ke kiri ke kanan – bau-bau harum
aku menatap betis-betis dan sepatu
bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut
badanku makin mingkup
aku melihat barang-barang yang dipajang
aku menghitung-hitung
aku menghitung upahku
aku menghitung harga tenagaku
yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik
aku melihat harga-harga kebutuhan
di etalase
aku melihat bayanganku
makin letih
dan terus diisap (10 september 1991)
Itulah, kumpulan puisi Wiji Thukul yang paling populer. Puisinya mampu menyadarkan masyarakat betapa pentingnya hak asasi manusia. Sehingga dapat menggerakan hati aktivis untuk melawan penindasan yang ada di seluruh dunia.