Pola Pembangunan Indonesia Mengancam Keanekaragaman Hayati
Berita Baru, Jakarta – Saban tanggal 22 Mei selalu diperingati dengan Hari Keanekaragaman Hayati International. Tujuan peringatan itu tak lain merupakan upaya untuk terus meningkatkan pemahaman dan kesadaran serta menumbuhkan kecintaan terhadap keanekaragaman hayati atau biodiversitas di bumi.
Tahun ini, Hari Keanekaragaman Hayati jatuh pada hari Minggu. Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati mengungkapkan tema Hari Keanekaragaman Hayati 2022 adalah “Membangun masa depan bersama untuk semua kehidupan.”
Tema tersebut dipilih untuk terus membangun momentum dan dukungan bagi kerangka keanekaragaman hayati global pasca-2020 yang akan diadopsi pada Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB #COP15 mendatang. Keanekaragaman hayati sendiri tetap menjadi jawaban atas beberapa tantangan pembangunan berkelanjutan.
Dari solusi berbasis alam hingga iklim, masalah kesehatan, ketahanan pangan dan air, dan mata pencaharian berkelanjutan, keanekaragaman hayati adalah fondasi di mana kita dapat membangun kembali dengan lebih baik.
Indonesia merupakan salah satu megadiverse countries. Negeri dengan keragaman hayati paling kaya di dunia. Di darat, Indonesua hanya kalah dari Brazil. Namun, Brazil tak punya laut seluas Indonesia, yang biota terumbu karangnya paling beragam di seluruh dunia.
Beragamnya flora dan fauna mudah ditemui di Indonesia. Hal itu dapat tecermin dalam beragam ekosistem yang ada: ekosistem hutan tropis, ekosistem mangrove, ekosistem rawa dan gambut, ekosistem danau air tawar dan ekosistem terumbu karang di laut.
Di samping itu, keragaman juga terlihat pada 54 taman nasional yang di miliki, yang masing-masing mewakili ekosistem khas. Tak hanya taman nasional, kita juga punya ratusan cagar alam, suaka alam dan taman hutan rakyat.
“Namun kini makin terancam karena akibat paradigma pembangunan yang keliru, yang menyepelekan, mengabaikan bahkan merusak alam,” ucap Farid Gaban, dilansir dari laman Facebooknya.
Ia menilai, kondisi itu juga terjadi di desa-desa. Jeragaman tanaman pekarangan makin menyusut. Cacing dan serangga, katanya, hilang dari lahan pertanian akibat pemakaian pupuk kimia dan pestisida berlebihan.
Dalam tulisannya, ia menerangkan pentingnya keragaman hayati. Menurutnya keragaman hayati itu bisa menjadi fondasi ekonomi. Farid melihat bahwa kekayaan Indonesia bukanlah emas, nikel atau batubara. Kekayaan kita adalah keragaman hayati yang bahkan tak bisa diukur dengan uang.
“Keragaman flora saja (setidaknya ada 25.000 jenis tanaman yang kita ketahui) sebenarnya merupakan sumber ekonomi yang dahsyat jika kita tekuni. Dia sumber pangan, obat dan kosmetika yang senantiasa dibutuhkan bersama pertambahan jumlah penduduk,” jelasnya.
Farid juga menjelaskan bahwa hutan tidak cuma pohon dan tak cuma satwa besar. Di situ ada ganggang, lumut, jamur, serangga dan bahkan mikroba. “Yang sebagian besar belum kita kenali dan pelajari,” katanya. Menurutnya kita hanya bisa memperoleh manfaat ekonomi hutan, gunung dan laut jika kita melestarikannya, dan mengelolanya secara berkelanjutan.
Kemakmuran di alam, Farid melanjutkan, dicirikan oleh keragaman hayati. Seperti beragam pohon, tanaman, serta satwa. Sebaliknya, ia melanjutkan, perkebunan/pertanian monokultur (satu jenis tanaman seperti sawit), betapapun banyaknya menghasilkan uang, adalah simbol kemiskinan, bahkan sumber bencana.
Pria yang pernah keliling Indonesia ini menegaskan bahwa pada kenyataannya, manfaat hutan, laut dan gunung tidaklah sekadar ekonomi. Semua itu memberi manfaat ekologis yang tidak bisa dinilai dengan rupiah, misal menyimpan dan mengatur air, melindungi tanah, menghasilkan oksigen.
“Bahkan tak hanya itu. Lestarinya hutan, sungai, gunung dan laut adalah sumber inspirasi bagi seni-budaya dan sprititualisme. Keragaman hayati mengilhami keragaman seni-budaya: pola batik, kerajinan, arsitektur, tarian, kuliner. Keragaman budaya Indonesia bertumpu pada keragaman alam. Jika alam rusak, punah pula keragaman adat, seni dan budaya,” tegas Farid.