Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sengkarut Revisi Perda RTRW Kabupaten Jember

Sengkarut Revisi Perda RTRW Kabupaten Jember



SETELAH melalui beberapa proses teknokrasi, Raperda perubahan atas Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember tahun 2015-2035, yang nantinya menjadi sumber hukum penting dan strategis untuk penataan pembangunan kabupaten Jember, mulai dibahas kembali.

Sayangnya prosesi revisi cacat secara prosedural, antara lain alur revisi tersebut tergolong ekslusif alias kurang melibatkan masyarakat secara partisipatif, seperti yang telah diamanahkan PP 21 tahun 2021, pasal 7 ayat 3 tentang peran masyarakat dalam perumusan tata ruang, yang kemudian didetailkan pada Permendagri No 4 tahun 2019 terkait tata cara peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang daerah.

Padahal keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan RTRW cukup vital. Partisipasi masyarakat sejak tahap persiapan, sampai pada tahap pengesahan tidak lain sebagai pengakumulasian sekaligus validasi data dari gresrut, yang fungsinya sebagai bahan analisis regional, lebih lebih luas lagi, yaitu aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan juga budaya, yang tujuannya untuk terciptanya kemitraan antara dua komponen penting, yaitu pemerintah dan masyarakat.

Tidak hanya itu, Rancangan Peraturan Daerah RTRW Jember yang diselenggarakan setelah mendapatkan persetujuan substansi, tidak merujuk pada KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) Kabupaten Jember. Hal tersebut jelas mereduksi fungsi KLHS sebagai fungsi evalusasi untuk mengukur kesesuaian tata ruang terhadap keseimbangan lingkungan.

Gelagat kepentingan terselubung pemerintahan Kabupaten Jember semakin terendus tajam, yaitu dengan dibahasnya perda RTRW tanpa terlebih dahulu memvalidasi KLHS Kabupaten Jember tersebut. Bahkan, pihak pemerintahan sempat memaksa tim penyusun agar merombak KLHS RTRW untuk disesuaikan dengan materi teknis RTRW, pada kesempatan integrasi tanggal 29 Agustus 2021 di Ruang Rapat Bapedda Jl. Sudirman No. 1 Jember.

Ditambah lagi dengan dilakukannya pembahasan Rancangan Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Jember, yang itu dilaksanakan disela-sela RTRW dalam proses revisi. Padahal pada PP yang sama, Pasal 18 ayat 4 berbunyi, “Rencana Tata Ruang Kabupaten menjadi acuan untuk penyusunan RDTR Kabupaten”, namun kali ini pemerintah menggunakan logika terbalik, yaitu terlebih dahulu membuat kusen, baru disusul dengan pembuatan pintunya.

Maka tidak heran apabila beberapa tahun terkahir Kabupaten Jember mengalami banjir disetiap sudut kotanya ketika memasuki musim penghujan, lantaran pemerintahan Kabupaten Jember tidak mengindahkan anjuran PP 21 Tahun 2021 Pasal 18 poin (e) yang berbunyi, “rencana tata ruang wilayah kabupaten memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Dari sekian kesengkarutan revisi Perda RTRW Jember itu menjadi momok bagi masyarakat Jember, lebih-lebih mengganggu stabilitas lingkungan hidup di Kabupaten Jember. Momok itu menjadi nyata dengan adanya ekspolitasi gumuk besar-besaran, lantantaran carut-marutnya kebijakan sekaligus kosongnya regulasi untuk menjaga kawasan gumuk, yang akhirnya mengilhami penyusutan jumlah gumuk di Kabupaten Jember.

Dulu, Kota Seribu Gumuk menjadi identitas Kabupaten Jember, pasalnya Jember memiliki 1.670 buah yang sudah terinventarisir, yang itu tersebar di kecamatan Arjasa, Sumbersari, Jelbuk, Sukowono, Kalisat, Mumbulsari, Pakusari, Ledokombo dan sekitarnya. Namun nampaknya identitas itu tidak akan bertahan lama lagi, karena gumuk di Kabupaten Jember mengalami penyusutan yang cukup signifikan, jelas itu imbas dari eksploitasi yang dilakukan oleh para penambang menggunakan alat berat yang kemudian mempercepat kehancuran gumuk-gumuk.

Padahal masyarakat Jember mempercayai bahwa adanya gumuk dihasilkan dari letusan Gunung Raung kisaran abad ke-18, gumuk yang dapat diartikan sebagai bukit-bukit kecil yang ketinggiannya cukup bervariasi itu, terjadi akibat sadimentasi dari letusan gunung, yang kemudian menjadikannya gundukan-gundukan tanah, yang juga mengandung batu dan pasir.

Kondisi itulah yang melatar belakangi pembentukan geografis Kabupaten Jember, jelasnya wilayah gumuk-gumuk. Gumuk yang merupakan Rahmat Tuhan, kebermanfaatannya berhak di rasakan oleh semua mahluk hidup, namun realitanya gumuk di Kabupaten Jember berstatus hak milik pribadi atau istilahnya tanah pemajekan, sehingga pengelolaannya berada di tangan pemilik gumuk, yang kemudian pemilik gumuk memiliki keleluasaan untuk menjual ataupun menambangnya.

Kekosongan regulasi dan kepemilikan personal itulah yang melatar belakangi gumuk di Kabupaten Jember dimanfaatkan secara berlebihan atau tidak sebagaimana mestinya, karena dianggap tidak ada batasan untuk pemanfaatannya, yang kemudian berujung pada kerusakan lingkungan.

Lukisan kerusakan-kerusakan lingkungan itu banyak tergambar buruk di Kecamatan Pakusari, Sumbersari, Jelbuk, Sukowono dan Mumbulsari. Banyak gumuk telah di alih fungsikan menjadi wilayah perumahan dan juga pertambangan. Dari adanya pengalihfungsian itu, masyarakat sekitar gumuk sangat merasakan dampak sosial, ekonomi dan juga lingkungannya.

Menurut keterangan masyarakat Pakusari, dampak yang telah dirasakan oleh sebagian penduduk di sekitar gumuk adalah berkurangnya sumber air bersih yang ada dipermukaan, mengeringnya sumur-sumur saat musim kemarau, rusaknya insfrastuktur jalan, adanya angin puting beliung, keretakan dinding rumah akibat getaran yang dihasilkan oleh alat berat, dan terjadinya banjir saat musim penghujan.

Mulanya, dilereng-lereng gumuk banyak terdapat sumber air, yang kemudian dimanfaat oleh warga untuk pemenuhan air bersih dan digunakan juga untuk mengairi sawah. Namun keberadaan aktifitas pertambangan gumuk, menyebabkan jumlah mata air menurun dan bahkan hilang atau mengering.

Gumuk yang telah ditambang juga menyebabkan tumbuhan habis dan rata dengan tanah, sehingga udara sekitar gumuk menjadi lebih panas. Gumuk yang juga media pengurai angin, apabila ditambang habis, maka angin puting beliung mengancam keselamatan masyarakat, terutama saat musim penghujan.

Ditambah lagi dengan sering terjadi tanah longsor dan banjir. Gumuk yang telah dirusak dan menyisakan sebagian yang belum ditambang, akan menyebabkan daerah tersebut rawan longsor. Apalagi salah satu fungsi gumuk merupakan daerah resapan air, jika daerah resapan berkurang maka kemungkinan banjir akan menjadi penyakit musiman yang akan terus menghantui masyarakat sekitar pertambangan gumuk.

Keberadaan gumuk yang terus berkurang, dapat mengganggu keseimbangan bentang alam Kabupaten Jember. Menurut Badan Meteologi, Klimatologi dan Geofisika (2017), secara umum cuaca di Kabupaten Jember memiliki suhu 23 – 21°C, dengan curah hujan 47 – 55 mm/jam dengan kategori sedang – lebat, dan dengan kecepatan angin 4 – 22 m/s kategori sedang – kencang. Maka keberadaan gumuk secara tidak langsung memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas alam kondisi geografis, iklim makro, dan ekosistem Kabupaten Jember.

Maka dari itu, perumusan RTRW harus diawali dengan identifikasi potensi dan masalah pembangunan. Identifikasi potensi dan masalah pemanfaatan ruang tersebut tidak hanya mencakup pada masa sekarang, namun juga potensi dan masalah yang akan mengemuka di masa mendatang. ldentifikasi dari potensi dan masalah ini membutuhkan terjalinnya komunikasi antara perencanaan dengan masyarakat, yang merupakan objek dari pembangunan tersebut.

Mengingat tujuan hakiki diadakannya perencanaan tata ruang wilayah merupakan pemenuhan kebutuhan pembangunan, agar tercapainya kesejahteraan masyarakat secara luas. Maka yang harus diperhatikan dari perumusan kebijakan ialah senantiasa berwawasan lingkungan dan bijak dalam pengalokasiannya, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan.

Bagaskara Dwy Pamungkas
Biro Advokasi, HAM, Riset, dan Lingkungan Hidup PC PMII Jember 2022-2023.

beras